Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu sangatlah penting, baik bagi Barat maupun Islam. Di mana letak utang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (The Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap hari, harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di masa lalu, yang memberi pengaruh besar terhadap para ilmuwan Barat.
Di zaman pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum muslimin menjadi pusat kebudayan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangat kontras. Bagi mayoritas masyarat di dunia kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutar, dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.
Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba memepelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum muslim dan Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat muslim. Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan muslim.
Tenggelam oleh Kebencian
Faktanya, pandangan yang positif terhadap Islam—seperti yang disuarakan oleh Tim Wallace-Murphy—tenggelam oleh permainan opini dan politik kalangan Barat yang memiliki pandangan yang salah atau yang menyimpan dendam terhadap Islam. Dalam bukunya, Muhammad, a Biography of the Prophet (1996), Karen Amstrong menggambarkan keresahannya, bahwa di Eropa pada tahun-tahun belakangan ini, kebencian lama terhadap Islam mulai terus dibangkitkan. “Orang-orang Eropa mudah menyerang Islam, walaupun mereka hanya tahu tentang Islam,” tulis Amstrong, mantan biarawati yang banyak menulis buku tentang Islam, Yahudi, dan Kristen.
Tiga Skenario
Wacana untuk membangkitkan kewaspadaan khusus orang-orang Barat terhadap Islam tampak jelas dalam bukunya The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (2004). Sebagai bagian dari skenario kelompok neo-konservatif , yang antara lain terdiri atas kelompok Kristen fundamentalis dan kelompok Yahudi sayap kanan. Upaya membangkitkan kebencian lama Barat terhadap Islam bisa memiliki sejumlah tujuan.
1. Sebagai bagian dari upaya Eropa (juga masyarakat Barat) kembali sebagai satu kekuatan Kristen sebagaimana terjadi dalam Perang Salib yang dimulai tahun 1095.
2. Upaya mengalihkan dukungan masyarakat Eropa terhadap perjuangan Palestina.
3. Kepentingan dukungan politik dalam negeri negara tertentu.
Hingga kini, di kalangan Kristen fundamentalis, istilah “Crusade” masih sering digunakan. Peristiwa Perang Salib menunjukkan bahwa Eropa belum pernah bersatu, kecuali saat menghadapi Islam. Pada tahun 1095 Paus Urbanus II berhasil menggalang kekuatan Kristen, melupakan perbedaan antara mereka, dan bersatu padu melawan kekuatan Islam. Dalam pidatonya, Paus menyatakan bahwa bangsa Turki (muslim) adalah bangsa terkutuk dan jauh dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan: “Membunuh monster tak ber-Tuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita.” (Killing these godless monster was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands). Karen Amstrong menggambarkan pengaruh Perang Salib terhadap masyarat Barat dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on to Today’s Wordl, (London: McMilan London Limite, 1991).
Skenario pengalihan dukungan masyarakat Barat terhadap Palestina juga sangat masuk akal, mengingat semakin menguatnya simpati dunia terhadap Palestina. Citra Israel dalam perang di Lebanon sangat babak belur. Israel dan Amerika gagal menempatkan Hizbullah dan Hamas sebagai musuh dunia, khususnya dunia Islam. Dengan membangkitkan sentimen lama tentang Islam di kalangan masyarakat Eropa, maka upaya pembentukan negara Palestina meredeka bisa digagalkan, setidaknya terus diundur.
Jatuhnya Konstantinapel merupakan pukulan berat bagi Eropa waktu itu. Meskipun Gereja Timur sudah mengalami konflik dengan Gereja Barat, tetapi untuk menghadapi Islam, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan Sultan Muhammad al-Fatih. Hanya saja, di kalangan pemuka agama Romawi Timur sendiri muncul perpecahan. Mereka ada yang lebih suka bergabung dengan Turki Utsmani ketimbang bersatu dengan Paus. “I would prefer seeing the Trukish turban in Byzantium rather than the Crdinal’s hat,” kata Granduke Notaras, seorang tokoh Kristen Byzantine.
Karena begitu mudahnya sentimen anti-Islam dibangkitkan–terutama melalui media massa di Barat yang banyak dikuasai kelompok tertentu–maka para politisi di Barat juga tidak jarang menggunakan isu ‘sentimen anti-Islam’ untuk meraih dukungan politik. Bukan hal itu yang sulit dibaca, bahwa dukungan rakyat AS terhadap George W. Bush sangatlah kecil. Tetapi, setelah peristiwa 11 september itu, dukungan terhadap Bush melonjak tajam.
Bukti Kebenaran Al-Qur’an!
Munculnya kasus film “Fitna” garapan Geert Wilders semakin membuka mata kita akan latennya kebencian dan dendam yang tidak berkesudahan dari kalangan Yahudi-Nasrani terhadap Islam. Film ini muncul tidak lama sesudah hebohnya pemuatan sejumlah kartun yang melecehkan Nabi Muhammad saw. Kaum muslim juga masih mengingat dengan baik ucapan Paus Benediktus XVI yang juga melecehkan Nabi Muhammad saw. Bagi kaum musimin, peristiwa ini tentu saja sangat menyakitkan. Kaum muslim tidaklah sama dengan kaum Kristen Leberal di Barat yang dengan mudahnya membiarkan saja pelecehan-pelecehan terhadap Tuhan mereka. Atas nama kebebasan (liberalisme), mereka membiarkan saja Jesus dilecehkan, melalui berbagai film.
The Times, edisi 28 Juli 1967, pernah mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967, yang mempersolkan mengapa Jesus tidak menikah. Ada tiga kemungkinan untuk itu. Mungkin Jesus tidak mampu menikah, mungkin tidak ada perempuan, atau mungkin dia seorang homoseksual.
Semua ‘kekurangajaran’ kepada Jesus itu biasa berlaku bagi mereka. Tetapi, Islam tidak sama dengan mereka. Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling banyak disebut namanya di dunia ini. Selama 24 jama penuh, umat Islam di seluruh dunia tidak pernah berhenti menyebut namanya. Sepanjang zaman, kaum muslimin siap-siap mengorbankan nyawanya demi kehormatan Nabi yang mulia. Ibnu Taimiyah rhm. menulis satu kitab khusus tentang pelecehan terhadap Nabi, yaitu Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. (Pedang Yang Terhunus untuk Penghujat Sang Rasul).
Peristiwa pelecehan Nabi Muhamamd saw. dan kepada Islam yang datang bertubi-tubi memang begitu menyakitkan hati kita sebagai kaum muslim. Tetapi, di samping itu, kita mengambil hikmah dari kasus ini. Kasus ini membuktikan bahwa Barat tidak tahu berterima kasih terhadap Islam. Kasus ini sekaligus juga membuktikan kebenara Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali Imran: 118).
Oleh: Adian Husaini, M.A. (Disampaikan pada acara Semalam Bersama Dewan Dakwah Islamiyah Bekasi, di masjid Nurul Islam Islamic Center Bekasi, Sabtu (12/04).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar