Gereja Tak Memuliakan Kaum Perempuan
Pada bagian pertama tulisan ini dijelaskan bagaimana
supremasi laki-laki dalam Gereka Katolik telah banyak menimbulkan skandal
memalukan citra gereja sendiri dan bagaimana Gereja Katolik memarginalkan kaum
perempuan. Terjadi jurang yang makin dalam antara fungsi dan prinsip-prinsip
gereja. Meski faktanya, kaum perempuan yang lebih banyak memberikan
kontribusinya bagi keberlangsungan gereja.
Di AS, 60 persen peserta misa di gereja adalah kaum
perempuan. Mereka juga pemberi dana sumbangan terbesar bagi gereja, sekitar 6
miliar setiap tahunnya. Tapi kehadiran kaum perempuan dalam struktur institusi
gereja tetap nihil. Vatikan, sebagai institusi wakil penganut Katolik sedunia,
tidak pernah memperhitungkan seorang perempuan untuk mendapatkan jabatan atau
posisi tinggi di gereja. Kalaupun ada, mereka hanya ditempatkan untuk
mengerjakan tugas-tugas manajemen dalam keuskupan, dan itupun jumlahnya tidak
banyak. Saat ini, jumlah biarawati jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pendeta.
Tapi ketika sebagian dari mereka ikut angkat suara-misalnya dalam isu reformasi
jaminan kesehatan di AS baru-baru-eksitensi mereka tetap dianggap sebagai angin
lalu.
Delapan tahun setelah Skandal Bolton,
Kathleen McChesney, mantan FBI yang ikut dalam tim studi masalah pelecehan
seksual di keuskupan-keuskupan di AS mengatakan, "Kaum lelakilah yang
harus mendengarkan diri mereka sendiri. Sepengetahuan saya, tidak ada perempuan
di Vatikan yang terlibat dalam isu-isu pelecehan seksual."
Bulan Maret lalu, Direktur Eksekutif National Leadership
Roundtable-sebuah wadah perkumpuan para pengusaha di AS-Kerry Robinson dan
beberapa kolega perempuannya terbang ke Roma untuk mendesak para kardinal agar
perempuan lebih banyak dilibatkan dalam gereja. Robinson frustasi melihat
kurang dibukanya kesempatan bagi perempuan untuk duduk dalam kepemimpinan
gereja, akibatnya, gereja jadi makin kurang relevan bagi kaum perempuan dan
bagi anak-anak mereka.
"Ini adalah hal yang penting, bagaimana orang memandang
kehidupan gereja. Sekarang, gereja dipandang sebagai dosa dan kejahatan yang
dilakukan oleh kaum lelaki, ditutup-tutupi oleh kaum lelaki dan dibiarkan
berlarut-larut oleh mereka. Untuk mengatasi ini semua, gereja harus
mengikutsertakan lebih banyak kaum perempuan," tukas Robinson.
Tentu saja, kaum perempuan bukan obat penyembuh semua
penyakit. Sejarah menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuasaan juga bisa
sangat egois dan kejam seperti layaknya kaum lelaki. Dan kehadiran perempuan,
tentu saja tidak menjamin sebuah organisasi bebas akan tindak kriminal dan
korupsi. Dalam hal ini, tanyakan saja pada Lynndie England, perempuan ini tersenyum ke
arah kamera saat ia melecehkan para tahanan di kamp penjara Abu Ghraib. Di sisi
lain, sulit membuktikan bahwa Gereja Katolik yang didominasi kaum lelaki
menciptakan "surga" bagi para pemangsa seks; dan masih masih banyak
pendeta-pendeta yang baik di dunia, yang setia dengan keimanannya. Para peneliti meyakini, sebenarnya tingkat penyimpangan
di dalam gereja bisa dibandingkan dengan tingkat penyimpangan di institusi
lain, seperti organisasi kepemudaan, sekolah dan dalam keluarga. Pelecehan n
seks relatif tinggi dan mengerikan.
"Survei-survei mengindikasikan bahwa satu dari tiga
gadis remaja dibawah usia 18 tahun, mengalami pendekatan pelecehan seksual yang
tidak mereka inginkan dari orang dewasa. Dan di kalangan remaja laki-laki, satu
dari lima orang diantara mereka, mengalami hal
serupa," ungkap Margaret Leland Smith, peneliti bidang hukum dan kriminal
di John Jay College
yang menganais data dari kasus-kasus pelecehan seksual di AS.
Meski demikian, tak terbantahkan bahwa hierarki Gereja
Katolik yang lebih mengendepankan kaum lelaki, sangat lambat merespon krisis
yang terjadi di balik dinding gereja-bahkan setelah terungkapnya kasus pelecehan
seksual dan penganiyaan juga terjadi di AS-dan masih lebih melindungi
kepentingan gereja sendiri dibandingkan melindungi anak-anak asuhan gereja.
"Gereja Katolik seharusnya bisa menarik orang-orang
yang telah melakukan pelanggaran kapan saja mereka inginkan, atau memecat
orang-orang itu," kata Pendeta Marie M. Fortune dari Persatuan Gereka
Kristus dan pendiri FaithTrust Institute, sebuah organisasi untuk menghentikan
tindak kekerasan seksual.
"Anda bisa melontarkan argumen yang baik dengan mengatakan
bahwa masalah ini muncul karena persoalan hierarki dalam sebuah institusi 'klub
para lelaki', sebuah institusi yang sangat konservatif dan tidak tersentuh oleh
masyarakat," sambung Pendeta Fortune.
Berbagai studi menunjukkan hal-hal yang secara intuisi sudah
menjadi rahasia publik; tanpa harus mempertanyakan lagi bahwa sekelompok lelaki
picik melakukan tindakan yang buruk. Profesor bidang sejarah dan penulis buku
The Company He Keeps: A History of White College Fraternities, Nicolas Syrett
mengatakan, studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa 70 sampai 90
persen genk pelaku pemerkosan di kampus-kampus, adalah para lelaki dalam
kelompok persekutuan. Syrret, tentu saja menarik perbedaan yang tegas antara
hierarki di Gereja Katolik dengan kelompok persekutuan para lelaki di
kampus-kampus. Kelompok persekutuan didorong untuk melakukan hubungan seks
dengan banyak perempuan, sedangkan para pendeta tidak demikian. Tapi dalam dua
kasus itu ada kesamaan bahwa "kaum lelaki didorong untuk memiliki keyakinan
bahwa mereka punya kekuasaan untuk melakukan tindakan itu."
"Saya sangat meyakini, jika hierarki Gereja Katolik
mendisplinkan orang-orang seperti itu hanya karena khawawatir akan -reputasi
gereja, orang-orang ini akan menciptakan ruang dimana akan muncul keyakinan
bahwa menyiksa dan melakukan pelecehan seksual pada anak-anak akan adalah hal
yang biasa," sambung Syrret.
Richard Sipe, mantan pendeta yang selama tiga dekade ini
meneliti ajaran gereja tentang seks dan dampaknya pada perilaku para pendetanya,
setuju dengan pendapat Syrret. "Kependetaan adalah sebuah kelompok yang
dalam pikirannya tertanam bahwa mereka punya hak-hak istimewa. Pikirkanlah hal
ini. Budaya lain apa yang Anda ketahui yang semuanya didominasi kaum lelaki,
baik secara praktek maupun secara teori," tandas Sipe.
Yesus memang tidak mengajarkan apapun tentang peran yang
harus dimainkan kaum perempuan di gereja di masa depan. Sebagai pemimpin
gerakan kecil dan radikal, Yesus mengajak semua orang untuk menjadi
pengikutnya, termasuk perempuan bersuami, perempuan yang belum menikah, para
pelacur dan ayat-ayat Injil memberikan peran khusus bagi kaum perempuan. Dalam
Injil disebutkan, kaum perempuan-lah yang pertama kali melihat dibangkitkannya
Yesus dan melaporkan kejadian itu pada kaum lelaki.
Diduga, pada masa awal gereja, kaum perempuan diberi
kesempatan berkiprah di gereja. Dalam suratnya pada penguasa Roma, sahabat
Yesus, Paul menyebutkan beberapa nama perempuan yang berperan di gereja, antara
lain; Phoebe, Prisca, Tryphena dan Tryphosa. Ia bahkan menyebut adanya
"rasul" perempuan bernama Junia. Fakta ini mengguncang gereja dari
generasi ke generasi yang berpikir bahwa seorang seorang "rasul"
haruslah seorang laki-laki.
Menurut penulis buku yang baru terbit berjudul
"Christianity: The First Theree Years", Diarmaid MacCulloch, sosok
Junia seringkali mengubah namanya dengan nama laki-laki. "Anda bisa
merasakan, bahwa masa awal gereja sudah menjauhkan sosok perempuan yang
memiliki kekuasaan di gereja," ujar MacCulloch.
Fakta ini membuktikan kesalahan klaim yang menyebutkan bahwa
masa-masa awal kekristenan merupakan masa kejayaan kaum perempuan. Perempuan,
umumnya, diposisikan sebagai mahkluk yang rendah dan bahwa lelaki Kristen yang
baiklah yang berhak mengendalikan gereja. Meski faktanya para pendeta bahwa
Paus juga menikah, kaum perempuan yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan
gairah seksual, dalam dunia lelaki Kristen, perempuan itu dianggap sebagai
seperti Hawa yang bersekongkol dengan setan untuk menggoda Adam. Para Kristen
Katolik menginginkan kaum perempuan meniru Maria, si perawan suci agar
perempuan menemukan kekuatan dan kemerdekaannya.
??????????????????????????????????????????
BalasHapusTulisan di atas juga dari Maxavellar Chan
BalasHapus