Tanah haram dan Ka'bahpun Mengenalnya
Tahun itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia. Yazdajurd, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan, sementara seluruh harta, prajurit dan istana menjadi tawanan kaum muslimin. Semuanya diangkut ke Madinah Al-Munawarh.
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajurd.
Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan, “Para putri itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.” Umar berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?” Ali berkata, “Umumkanlah harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membelinya.”
Saran Ali disetujui dan segera dilaksankan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.
Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung masuk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil istri oleh Husain setelah tadinya berstatus budak. Setelah itu dia tinggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah”.
Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.
Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau, tidak lama kemudian beliau dikaruniai seroang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, kebahagiaan itu tidak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus setelah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya.
Kini, anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipeliharara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil tumbuh tanpa mengenal selain budak wanita itu.
Menginjak usia remaja Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa sahabat Nabi saw. dan generasi tabi’in.
Mereka begitu semangat mendidik para putra sahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih serta riwayat hadits-hadits nabi saw. sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya. Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah saw, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut dan ketakwaan kepada Allah. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait dengan sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang boleh dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada didalamnya.
Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau tehadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.
Memasuki usia dewasa, dia tumbuh menadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan. Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda bani Hasyim yang patut diteladinya ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu tehrlihat wajanya pucat seperti ketakutan. Bia ditanya tentang hal itu menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan yang akan aku ajak bicara?”
Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memeberi julukan “Zainul ‘Abdin” (hiasan para ahli ibada) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai Assajad. Karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy”.
Zainul Abidin yakin bahwa sumsum ibadah adalah do’a. beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka’bah dengan do’anya, “Wahai Rabb-ku, engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana Engkau anugerahkan, sehingga aku berdo’a dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah do’aku, do’a orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin…”
Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin beridiri di bawah bayang-bayang baitul Atiq (ka’bah), gelagapan seperti orang tenggelam, menangis seperti ratapan seroang penderita sakit dan berdo’a terus menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Zainul Abidin selesai berdo’a, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata:
Thawus, “Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”
Zainul Abidin, “Apakah itu wahai Thawus?”
Thawus, “Pertama, anda adalah keturunan Rasulullah saw. Kedua, anda akan mendapatkan syafa’at dari kakek Anda dan ketiga rahmat Allah bagi Anda.”
Zainul Abidin, “Wahai Thawus, garis keturunanku dengan Rasulullah saw. tidak menjamin keamananku setelah kudengan firman Allah,
“..kemudian ditiup lagi sangsakala, maka tidak akan ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu..” (Al-Kahfi: 99).
Adapun tentang syafaat kakekku, Allah telah menurunkan firman-Nya, “Mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah,” (Al-Anbiya’: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya,
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (Al-A’raf: 56).
Takdir Allah menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin tak terlampui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan sifat sabarnya. Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya. Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan:
Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin. Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya. Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam membisu sampai aku pulang. Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku. Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Zainul Abidin. Tak aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun ternyata dia hanya bicara, “Wahai saudaraku, bila ada yang Anda katakan tadi benar, semoga Allah mengampuniku. Dan jika yang Anda katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu…” Kemudian beliau berlalu setelah mengucapkan salam.
Merasa bersalah, aku mengejarnya dan berkata, “Sungguh, aku tidak akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai.” Beliau berkata, “Saya telah memaafkan Anda.”
Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan, “Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memakinya. Ternyata hal itu membuat orang-orang marah. Mereka berkurumun hendak mengeroyok aku. Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku babak belur. Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, ‘Biarkanlah orang ini.” Maka mereka pun membiarkan diriku.
Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatap dengan wajah bersahabat dan menentramkan hati, lalu berkata, “Engkau telah mencelaku sejauh yang kamu ketahui, padahal yang tidak kamu ketahui lebih besar lagi. Adakah Anda memiliki keperluan sehingga saya bisa membantu Anda?”
Aku menjadi malu sekali dan tidak bisa berkata apa-apa. Begitu melihat gelagatku, beliau memberikan baju dan uang seribu dirham. Sejak itu setiap kali aku melihatnya aku berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda memang benar-benar keturunan Rasulullah saw.”
Kisah berikutnya dituturkan oleh pembantunya sendiri, “Aku adalah pembantu Ali bin Husain. Suatu kali aku disuruh memenuhi salah satu kebutuhannya, tapi aku terlambat melakukannya. Begitu aku datang langsung dicambuk olehnya.
Aku menangis bercampur marah sebab dia tidak pernah mencambuk siapapun sebelum itu. Aku berkata, “Allah…Allah… Wahai Ali bin Husain, mengapa tatkala Anda menyuruhku memenuhi keperluanmu, namun setelah aku penuhi Anda justru memukulku?”
Beliau terkejut lalu menangis mendengar kata-kataku. Lalu berkata, “Pergilah ke masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat kemudian berdo’alah, ‘Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain.’ Bila engkau mau melakukannya, engkau akan aku merdekakan.” Aku mengikuti kata-katanya. Aku shalat dan berdo’a seperti yang dimintanya. Ketika kembali ke rumah, diriku telah menjadi orang yang bebas merdeka.”
Allah memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada Zainul Abidin. Perdagangannya selalu untung dan pertaniannya subur, dikelola para budaknya. Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya semakin bertambah banyak hartanya.
Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan kekayaannya itu. Sikapnya tidak berubah. Kekayaannya digunakan untuk membangung jalan kebaikan menuju akhirat. Begitulah kekayaan menjadi indah di tangan hamba yang shalih. Di antara amal shalih yang beliau sukai adalah bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.
Di saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya, keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang tidur nyenyak. Beliau keliling ke rumah para fakir miskin yang tak suka menadahkan tangannya.
Tidak heran jika banyak orang miskin Madinah yang hidup tanpa mengetahui darimana jatuhnya rizki untuk mereka itu. Setelah Ali bin Husain wafat dan mereka tak lagi menerim rizki-rizki itu, barulah mereka menyadari siapakah gerangan manusia dermawan itu.
Sewaktu jenazah Zainul Abidin di mandikan, terlihat ada bekas hitang di punggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya, “Bekas apa ini?” diantara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.” Setelah wafatnya Zainul Abidin, terputus sudah bantuan bagi fakir miskin itu.
Pembebasan budak secara besar-besaran yang dilakukan Zainul Abidin disebarkan oleh para perantau ke Timur dan Barat. Tingkah lakunya seakan seperti dongeng yang direkayasa dan banyaknya melebihi hitungan orang yang membilangnya.
Zainul Abidin bisa memerdekakan budak yang bekerja dengan baik sebagai imbalan untuk mereka. Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur dipukul atau dianiaya sebagai tebusan. Diriwayatkan bahwa beliau telah memerdekakan seribu budak dan tak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari satu tahun. Kebanyakan mereka dimerdekakan pada malam ‘Idul Fitri, malam yang penuh berkah. Dimintanya mereka menghadap ke kiblat dan berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain,” sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua kali lipat untuk berlebaran agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat.
Beliau dicintai dan dihormati oleh segenap penduduk Madinah. Bila beliau jalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu memperhatikannya dari tepi-tepi jalan.
Pernah Hisyam bin Abdul Malik yang sedang menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Makkah untuk berhaji. Ketika beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawal memerintahkan orang-orang supaya melapangkan jalan untuknya. Namun mereka tak minggir dan tak menghiraukan rombongan amirul mukminin, karena itu adalah rumah Allah dan semua manusia adalah hamba-Nya.
Sementara itu dari kejauahan terdengar suara tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir, di tengah-tengah kerumunan terlihat seseorang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, nampak tenang dan berwibawa. Beliau mengenakan kain jubah, di dahinya tampak bekas sujud. Orang-orang berdiri berjajar, menyambut dengan penuh pandangan cinta dan kerinduan. Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.
Seorang pengawal menoleh ke arah Hisyam, “Siapa orang yang dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?” Hisyam berkata, “Aku tidak tahu.” Kebetulan di dekat situ Hadir Farzdak, lalu dia berkata, “Barangkali Hisyam tidak kenal, tapi saya mengenalnya. Beliau adalah Ali bin Husain.” Selanjutnya dia bersyair:
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri kaisar Yazdajurd.
Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan, “Para putri itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.” Umar berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?” Ali berkata, “Umumkanlah harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membelinya.”
Saran Ali disetujui dan segera dilaksankan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.
Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung masuk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil istri oleh Husain setelah tadinya berstatus budak. Setelah itu dia tinggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah”.
Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.
Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau, tidak lama kemudian beliau dikaruniai seroang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, kebahagiaan itu tidak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus setelah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya.
Kini, anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipeliharara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil tumbuh tanpa mengenal selain budak wanita itu.
Menginjak usia remaja Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa sahabat Nabi saw. dan generasi tabi’in.
Mereka begitu semangat mendidik para putra sahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih serta riwayat hadits-hadits nabi saw. sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya. Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah saw, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut dan ketakwaan kepada Allah. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait dengan sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang boleh dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada didalamnya.
Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau tehadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.
Memasuki usia dewasa, dia tumbuh menadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan. Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda bani Hasyim yang patut diteladinya ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu tehrlihat wajanya pucat seperti ketakutan. Bia ditanya tentang hal itu menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan yang akan aku ajak bicara?”
Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memeberi julukan “Zainul ‘Abdin” (hiasan para ahli ibada) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai Assajad. Karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy”.
Zainul Abidin yakin bahwa sumsum ibadah adalah do’a. beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka’bah dengan do’anya, “Wahai Rabb-ku, engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana Engkau anugerahkan, sehingga aku berdo’a dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah do’aku, do’a orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin…”
Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin beridiri di bawah bayang-bayang baitul Atiq (ka’bah), gelagapan seperti orang tenggelam, menangis seperti ratapan seroang penderita sakit dan berdo’a terus menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Zainul Abidin selesai berdo’a, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata:
Thawus, “Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”
Zainul Abidin, “Apakah itu wahai Thawus?”
Thawus, “Pertama, anda adalah keturunan Rasulullah saw. Kedua, anda akan mendapatkan syafa’at dari kakek Anda dan ketiga rahmat Allah bagi Anda.”
Zainul Abidin, “Wahai Thawus, garis keturunanku dengan Rasulullah saw. tidak menjamin keamananku setelah kudengan firman Allah,
“..kemudian ditiup lagi sangsakala, maka tidak akan ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu..” (Al-Kahfi: 99).
Adapun tentang syafaat kakekku, Allah telah menurunkan firman-Nya, “Mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah,” (Al-Anbiya’: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya,
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (Al-A’raf: 56).
Takdir Allah menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin tak terlampui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan sifat sabarnya. Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya. Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan:
Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin. Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya. Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam membisu sampai aku pulang. Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku. Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Zainul Abidin. Tak aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun ternyata dia hanya bicara, “Wahai saudaraku, bila ada yang Anda katakan tadi benar, semoga Allah mengampuniku. Dan jika yang Anda katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu…” Kemudian beliau berlalu setelah mengucapkan salam.
Merasa bersalah, aku mengejarnya dan berkata, “Sungguh, aku tidak akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai.” Beliau berkata, “Saya telah memaafkan Anda.”
Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan, “Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memakinya. Ternyata hal itu membuat orang-orang marah. Mereka berkurumun hendak mengeroyok aku. Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku babak belur. Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, ‘Biarkanlah orang ini.” Maka mereka pun membiarkan diriku.
Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatap dengan wajah bersahabat dan menentramkan hati, lalu berkata, “Engkau telah mencelaku sejauh yang kamu ketahui, padahal yang tidak kamu ketahui lebih besar lagi. Adakah Anda memiliki keperluan sehingga saya bisa membantu Anda?”
Aku menjadi malu sekali dan tidak bisa berkata apa-apa. Begitu melihat gelagatku, beliau memberikan baju dan uang seribu dirham. Sejak itu setiap kali aku melihatnya aku berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda memang benar-benar keturunan Rasulullah saw.”
Kisah berikutnya dituturkan oleh pembantunya sendiri, “Aku adalah pembantu Ali bin Husain. Suatu kali aku disuruh memenuhi salah satu kebutuhannya, tapi aku terlambat melakukannya. Begitu aku datang langsung dicambuk olehnya.
Aku menangis bercampur marah sebab dia tidak pernah mencambuk siapapun sebelum itu. Aku berkata, “Allah…Allah… Wahai Ali bin Husain, mengapa tatkala Anda menyuruhku memenuhi keperluanmu, namun setelah aku penuhi Anda justru memukulku?”
Beliau terkejut lalu menangis mendengar kata-kataku. Lalu berkata, “Pergilah ke masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat kemudian berdo’alah, ‘Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain.’ Bila engkau mau melakukannya, engkau akan aku merdekakan.” Aku mengikuti kata-katanya. Aku shalat dan berdo’a seperti yang dimintanya. Ketika kembali ke rumah, diriku telah menjadi orang yang bebas merdeka.”
Allah memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada Zainul Abidin. Perdagangannya selalu untung dan pertaniannya subur, dikelola para budaknya. Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya semakin bertambah banyak hartanya.
Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan kekayaannya itu. Sikapnya tidak berubah. Kekayaannya digunakan untuk membangung jalan kebaikan menuju akhirat. Begitulah kekayaan menjadi indah di tangan hamba yang shalih. Di antara amal shalih yang beliau sukai adalah bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.
Di saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya, keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang tidur nyenyak. Beliau keliling ke rumah para fakir miskin yang tak suka menadahkan tangannya.
Tidak heran jika banyak orang miskin Madinah yang hidup tanpa mengetahui darimana jatuhnya rizki untuk mereka itu. Setelah Ali bin Husain wafat dan mereka tak lagi menerim rizki-rizki itu, barulah mereka menyadari siapakah gerangan manusia dermawan itu.
Sewaktu jenazah Zainul Abidin di mandikan, terlihat ada bekas hitang di punggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya, “Bekas apa ini?” diantara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.” Setelah wafatnya Zainul Abidin, terputus sudah bantuan bagi fakir miskin itu.
Pembebasan budak secara besar-besaran yang dilakukan Zainul Abidin disebarkan oleh para perantau ke Timur dan Barat. Tingkah lakunya seakan seperti dongeng yang direkayasa dan banyaknya melebihi hitungan orang yang membilangnya.
Zainul Abidin bisa memerdekakan budak yang bekerja dengan baik sebagai imbalan untuk mereka. Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur dipukul atau dianiaya sebagai tebusan. Diriwayatkan bahwa beliau telah memerdekakan seribu budak dan tak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari satu tahun. Kebanyakan mereka dimerdekakan pada malam ‘Idul Fitri, malam yang penuh berkah. Dimintanya mereka menghadap ke kiblat dan berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain,” sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua kali lipat untuk berlebaran agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat.
Beliau dicintai dan dihormati oleh segenap penduduk Madinah. Bila beliau jalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu memperhatikannya dari tepi-tepi jalan.
Pernah Hisyam bin Abdul Malik yang sedang menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Makkah untuk berhaji. Ketika beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawal memerintahkan orang-orang supaya melapangkan jalan untuknya. Namun mereka tak minggir dan tak menghiraukan rombongan amirul mukminin, karena itu adalah rumah Allah dan semua manusia adalah hamba-Nya.
Sementara itu dari kejauahan terdengar suara tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir, di tengah-tengah kerumunan terlihat seseorang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, nampak tenang dan berwibawa. Beliau mengenakan kain jubah, di dahinya tampak bekas sujud. Orang-orang berdiri berjajar, menyambut dengan penuh pandangan cinta dan kerinduan. Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.
Seorang pengawal menoleh ke arah Hisyam, “Siapa orang yang dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?” Hisyam berkata, “Aku tidak tahu.” Kebetulan di dekat situ Hadir Farzdak, lalu dia berkata, “Barangkali Hisyam tidak kenal, tapi saya mengenalnya. Beliau adalah Ali bin Husain.” Selanjutnya dia bersyair:
Orang ini, bebatuan yang diinjaknya mengetahuinya
Tanah Haram dan Baitullah pun mengenalnya
Dialah putra terbaik di antara hamba Allah seluruhnya
Berjiwa takwa, suci, bersih dan luas ilmunya
Dialah cucu Fathimah jika Anda belum mengenalnya
Cicit dari orang yang mana Allah menutup para nabi dengannya
Pertanyaanmu, “siapa dia” tak mengurangi ketenarannya
Orang Arab dan Ajam mengenalnya, meski kau tak mengenalnya
Kedua tangannya laksana hujan yang semua memanfaatkannya
Manusia membutuhkan uluran tangannya
Tak ada yang dikecewakan olehnya
Tiada pernah berkata, “tidak” selain dalam tasyahudnya
Kalaulah bukan karena sayahadah, niscaya hanya ada kata “ya”
Menyebarkan kebaikan di tenah manusia
Sirnalah kezhaliman, miskin dan papa
Jika orang quraisy melihatnya pastilah berkata:
Sampai setinggi itukah kemuliaannya?
Tertunduk mata karena malu kepadanya
Merasa kerdil melihat kehebatannya
Tak pernah lupa tersenyum tatkala berkata-kata
Di tangannya tergenggam tongkat yang harum aromanya
Dari tangan manusia cerdas hidung mencium bau wanginya
Keturunan Rasulullah dia asalnya
Alangkah mulia asalnya, akhlaknya dan juga perangainya
Semoga Allah meridhai cicit dari Rasulullah saw. ini dan beliaupun ridha. Sungguh beliau adalah potret manusia yang takut kepada Allah, baik tatkala sendiri maupun dalam keramaian, memenuhi jiwanya dengan ketakutan terhadap siksa Allah dan harapan akan limpahan pahala-Nya.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 287-298.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar