Al-Qur’an Menurut Hasan Al-Banna (17) Mencipta dan Memerintah Adalah Hak Allah

Tsaqafah Islamiyah
Oleh: Asy-Syahid Hasan Al-Banna

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya.


Kita memulai dengan cara yang paling baik. Wahai Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Semoga, berkat kepuasan iman dan kehangatan keyakinan, Anda semua tidak merasakan sengatan panas udara atau dinginnya cuaca. Semakin besar kesukaran yang dialami seseorang, maka semakin dilipatgandakan pahala dan balasannya dengan izin Allah.

“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (At-Taubah: 120-121)

Amma ba’du.

Ikhwan sekalian…

Surat Al-Baqarah dimulai dengan firman Allah swt. “Alif Lam Mim”. Para mufasir berbeda pendapat mengenai makna huruf-huruf di awal surat.

Ada yang mengatakan, “Huruf-huruf ini mengisyaratkan rumus-rumus tertentu.” Penafsiran semacam ini hanyalah interpretasi filosofis yang mengada-ada dan tidak berguna.

Ada pula yang mengatakan, “Huruf-huruf ini mengejutkan bangsa Arab dengan sesuatu yang belum biasa bagi mereka, agar mereka memperhatikan ayat-ayat setelannya.”

Adajuga yang mengatakan, “Ia merupakan indikasi sempurna tentang kemukjizatan Al-Qur’an yang terdiri dari susunan huruf yang ketika sendirian tidak mempunyai makna, tetapi ketika sudah terangkai dalam kalimat menjadi tantangan bagi para ahli balaghah (sastra) yang tidak mampu mendatangkan syair serupa.”

Ada pula yang mengatakan, “Jika seluruh huruf ini dikumpulkan, niscaya meliputi seluruh huruf bahasa Arab.”

Ada pula yang mengatakan, “Huruf-huruf ini menegaskan keutamaan ilmu di tengah-tengah manusia dan di tengah-tengah kaum yang ummi (buta huruf).

Sesungguhnya Rasul saw. mendatangkan Al-Qur’an ini untuk mendorong manusia mempelajari ilmu dan menghapuskan keummian.

“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena.” (Al-’Alaq: 3-4)

Ada pula yang mengatakan, “Huruf-huruf tersebut sebagai sumpah. Seringkali Allah bersumpah dengannya dalam Al-Qur’an.”

“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Al-Qalam: 1)

“Qaaf. Demi Al-Qur’an…” (Qaaf: 1)

Ada lagi segolongan mufasir yang tidak mau membebani diri mereka sendiri atau orang lain. Mereka mengatakan tentang penafsirannya, “Allah Yang Maha Mengetahui mengenai maksudnya.”



Allah swt. berfirman,

“Kitab (Al-Qur’an) itu tidak ada keraguan padanya.” (Al-Baqarah: 2)

Al-Qur’an mengajukan dirinya sebagai penjelas segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan cahaya bagi seluruh
alam. Al-Qur’an akan membawa mereka kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat. Isyarat dalam ayat ini menggunakan kata dzalika (itu), bukan dengan kata hadza (ini), karena ketika itu Al-Qur’an belum dihimpun dalam satu buku secara keseluruhan.

Yang dituju dari kata “itu” adalah apa yang datang sesudahnya. ‘Tidak ada keraguan padanya.” Tidak ada keraguan bahwa ia datang dari sisi Allah dan tidak ada keraguan pula bahwa ia datang untuk kebaikan umat manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.

Ada tiga klasifikasi manusia berkaitan dengan kitab ini:

Pertama, orang-orang yang beriman kepadanya, membenarkan kandungannya, dan mengamalkan ajarannya.

Kedua, orang-orang yang mengkufurinya dan menolak ayat-ayatnya.

Ketiga, orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.

Golongan pertama adalah golongan orang-orang yang hati mereka telah disinari oleh hidayah dan jiwa mereka diterangi oleh risalah, sehingga mereka menerima kitab Allah swt. sebagaimana menerima risalah-risalah lain dengan hati dan jiwa yang tenang. Mereka beriman dan menyatakan keimanannya. Maka keimanan itu menjadi pelindung mereka dan petunjuk bagi hati mereka. “Petunjuk bagi mereka yang bettaqwa.” Mereka beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka.

Adapun golongan kedua adalah orang-orang yang hati mereka telah membatu, terhalangi dari hidayah, serta mengingkari apa yang diturunkan oleh Allah. Mereka bersikap menentang dan sombong kepada para rasul.

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An-Naml: 14)

Itulah yang diisyaratkan oleh ayat yang mulia,

“Sesungguhnya orangorang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah: 6-7)

Saya mempunyai beberapa catatan mengenai golongan ini. Al-Qur’anul Karim telah menjelaskan bahwa sikap mereka itu kufur dan ingkar, menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah, dan tidak mampu menyingkap rahasia. Karenanya mereka terjerumus dalam keingkaran dan permusuhan terhadap dakwah, sehingga mereka tidak bisa memperoleh buah dakwah dan dakwah tidak bisa menyentuh hati mereka. Fanatisme telah mendorong mereka untuk melakukan penentangan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy yang menyakiti dan melakukan tipu daya terhadap orang-orang mukmin serta keterlaluan dalam menyakiti Rasulullah saw.

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka merancang tipu daya dan Allah juga membuat tipu daya. Dan Allah sebaik-baik Pembuat tipu daya.” (Al-Anfal: 30)

Dakwah tidak mampu memberikan pengaruh kepada mereka, nasihat tidak bermanfaat bagi mereka, ancaman tidak mempan untuk mereka, sebaliknya mereka bersikeras mempertahankan sikap itu.

“Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”

Ada hikmah atas penghentian bacaan (waqaf) pada firman Allah swt.,

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka.”

Baru kemudian bacaan dimulai lagi, “Dan penglihatan mereka ditutup.” Karena yang dimaksud dengan hati dan pendengaran di sini adalah pemahaman, pendengaran, dan keyakinan dengan hati, keduanya termasuk hakikat yang abstrak, tidak terindra. Adapun penglihatan dan penutupnya adalah sesuatu yang bisa diindra. Setiap kali Anda memperhatikan secara teliti struktur kalimat Al-Qur’anul Karim, maka Anda mendapatinya begitu akurat dalam menempatkan kata untuk menyesuaikan dengan makna, sehingga tidak seorang pun bisa menggantikan kata tersebut dengan yang lain.

Tetapi, di sini timbul salah satu masalah paling penting yang menyibukkan manusia, sekalipun masalah ini sebenarnya cukup gamblang, yaitu masalah pemilihan.

Pandangan pertama berkenaan dengan masalah ini yang ingin saya utarakan kepada Anda pada malam ini adalah, hendaklah di dalam hati kita tertanam satu keyakinan bahwa Allah swt. sebagai Tuhan seluruh makhluk, mempunyai kewenangan mudak dalam mengatur makhluk-Nya. Juga bahwa Dia itu menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya, melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya, dan tidak ada yang bisa menggagalkan ketetapan-Nya.

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah adalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54)

“Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).” (Ar-Rum: 4)

“Yang telah menciptakan kalian lalu menyempurnakan kejadian kalian dan menjadikan (susunan tubuh) kalian seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh kalian.” (Al-Infithar: 7-8)

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (Ali Imran: 154)

“Di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu.” (Yasin: 83)

Adapun pandangan kedua adalah bahwa Allah, yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu, telah mengatur seluruh alam ini berdasarkan hukum-hukum yang berlaku pada segenap makhluk-Nya. Alam yang kita ketahui ini ada tiga macam.

Pertama, benda-benda tak hidup.

Kedua, tumbuh-tumbuhan.

Ketiga, hewan-hewan.

Benda tak hidup berjalan mengikuti hukum-hukum tetap dengan keteraturan dan perhitungan. Di antaranya adalah matahari, bulan, dan seluruh bintang yang berjalan dengan perhitungan yang diketahui dan ketetapan yang pasti.

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manalah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yasin: 38-40)

Tumbuh-tumbuhan juga demikian. Ia tunduk kepada hukum-hukum Tuhan dan berjalan mengikuti perkembangan kehidupannya sesuai dengan aturan-aturan ini.

“Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ra’d: 4)

Para pakar botani mengatakan, ‘Tumbuh-tumbuhan mempunyai sejumlah 12 ribu rumpun yang berjalan dengan hukum-hukum yang berbeda satu sama lain.”

Adapun hewan, Anda dapati juga berjalan mengikuti aturan tertentu dan telah dibekali dengan segala hal yang bisa melindungi dan menunjangnya untuk memperoleh makanan, dan untuk melestarikan kehidupannya, serta kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Seekor kucing misalnya, telah mengetahui bagaimana ia hamil, melahirkan, dan memelihara keturunannya. Semua itu berlangsung tanpa membutuhkan dokter, kasur yang empuk, dan sarana-sarana lain untuk meringankan derita dalam melahirkan dan mendidik anak.

“Maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al-Mukminun: 14)

“…yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)

Adapun manusia, meskipun ia sejenis dengan hewan, tetapi Allah telah memberikan akal, pikiran, dari kebebasan memilih kepadanya.

Di samping diberi kebebasan memilih ini, manusia juga diberi amanah. Sebagai penyeimbang dari nikmat tersebut, Allah telah memberinya beban yang dibangun di atas prinsip kebebasan memilih.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Al-Ahyab: 72)

Ikhwan sekalian..

Pada kenyataannya manusia sangat zhalim ketika menentukan pilihannya ini, tetapi kemahaarifan Allah swt. menuntut agar di antara makhluk-makhluk ini ada satu jenis yang mempunyai akal dan kemampuan memilih.

“Agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Hud: 7)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)

Mendengar bukan hanya dengan telinga dan melihat bukan hanya dengan mata, tetapi dengan akal dan pikiran. Jika tidak demikian, bukankah kuda bisa melihat lebih banyak daripada manusia dan anjing bisa mendengar lebih banyak daripada manusia, bahkan itu merupakan keistimewaan paling menonjol dari binatang tersebut? Tetapi, manusia adalah makhluk yang lemah sekaligus istimewa. Jika lapar, ia berpikir. Jika membutuhkan sesuatu, ia berpikir. Ia menanam, lantas memanen buah tanamannya. Ia menggunakan binatang sebagai kendaraan ketika ia mendapati bahwa perjalanan yang dilakukannya tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ketika binatang juga tidak mampu menempuh perjalanan itu, ia menciptakan kapal, kereta api, mobil, dan pesawat terbang. Manusia menghasilkan penemuan demi penemuan dalam segala bidang. Semula ia memakan satu jenis makanan saja, tetapi akhirnya ia memakan beratus-ratus jenis makanan. Semula ia hanya tinggal di gua-gua, tetapi kemudian ia bisa membangun rumah-rumah dan istana-istana mewah. Dialah makhluk yang diciptakan oleh Allah swt., diberi akal, dan diberi kebebasan memilih.

Sebagai konsekuensi dari kebebasan memilih yang diberikan ini, Allah juga menetapkan pahala dan hukuman. Jika manusia tidak diberi hak untuk memilih, maka risalah yang dibawa oleh para rasul tentu sia-sia belaka, tidak perlu ada rasul, dan kitab-kitab pun tidak berguna.

Ikhwan sekalian…

Pandangan ketiga yang ingin saya utarakan kepada Anda adalah bahwa Allah swt. tidak ingin membiarkan manusia dikendalikan oleh akalnya semata. Akal itu bisa benar dan bisa salah. Maka Allah mengirimkan utusan kepada manusia untuk menerangi jalannya dan menjelaskan kebenaran kepadanya.

“Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pem-beri peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213)

Pandangan keempat, Ikhwan sekalian, tentang bencana-bencana yang kadang-kadang menimpa manusia sedangkan manusia tidak memiliki pilihan di dalamnya. Bencana-bencana semacam ini banyak sekali, misalnya kejadian-kejadian di luar diri yang menimpanya. Misalnya seseorang berjalan di samping sebuah tembok, tetapi sekonyong-konyong tembok itu ambruk menimpanya; ia berjalan di jalan raya, tiba-tiba ada mobil yang menabraknya; ia dituduh dengan tuduhan yang tidak benar; ia jatuh ke dalam sumur tanpa kesengajaan; hujan
turun deras sehingga merusakkan tanamannya, atau kejadian-kejadian lain semisalnya.

Hikmah dalam bencana-bencana yang menimpa manusia ini, wahai Akhi, adalah untuk melipatgandakan pahala. Sekalipun secara lahir ia mendapatkan penderitaan, tetapi bisa jadi bencana itu bermanfaat baginya dan Allah memberikan pengganti karena kesabarannya. Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung Kekuasaan-Nya bisa jadi melihat bahwa bencana tersebut mengandung kemaslahatan.

“Untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.” (Hud: 7)

Wahai Akhi…

Pandangan kelima adalah bahwa semua itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. adalah yang menciptakan segala sesuatu.

“Padahal Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96)

Dan bahwa Allah swt. telah menulis hal itu di Lauhul Mahfuzh.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar. 49).

Kemudian Allah juga mencatat amal pada saat terjadinya.

“Sebenarnya (Kami mendengar) dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (Az-Zukhruf: 80)

Tetapi penulisan ini tidak mengendalikan akal pikiran. Catatan pertama berisi penulisan tentang apa yang akan terjadi sedangkan catatan kedua berisi penulisan tentang apa yang telah terjadi. Demikian pula, kebijakan Allah telah menetapkan untuk memberikan kebe-basan memilih kepada hamba-hamba-Nya, yang kebebasan ini pasti ditetapkan sesuai dengan ilmu Allah. Andaikata Allah berkehendak untuk menghilangkan kemampuan memilih ini, niscaya Allah bisa melakukannya. Sebab, akal dan kemampuan memilih itu sendiri merupakan ciptaan Allah. Segala sesuatu kembalinya kepada Allah.

“Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (An-Najm: 42)

Kita dan amal perbuatan kita adalah dari Allah. Kita kembali juga kepada Allah. Tidak mungkin manusia menempuh satu jalan yang tidak dikehendaki oleh Allah swt.,

“Dan kalian tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki oleh Allah.” (Al-Insan: 30)

Ini cukup jelas.

Adapun masalah-masalah yang dimunculkan oleh filsafat dan perdebatan ilmu kalam, maka yang dominan di dalamnya adalah faktor-faktor politis. Konsep-konsep yang dihasilkan oleh filsafat itu tidak pernah ada di zaman para sahabat, misalnya, karena mereka —semoga Allah meridhai mereka— menerima ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan fitrah mereka, tanpa sophisme.

Ikhwan sekalian…

Pembicaraan kita mengenai klasifikasi manusia telah begitu jauh. Kini kita kembali dan saya katakan bahwa golongan ketiga adalah orang-orang munafik yang dimaksudkan dalam firman Allah,

“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 8)

Orang-orang munafik itu mengatakan dengan mulut mereka apa yang tidak sesuai dengan isi hati mereka.

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 9)

Mereka was-was jangan-jangan Allah membuka kedok mereka.

“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, Teruskanlah ejekan-ejekan kalian (terhadap Allah dan Rasul-Nya)’. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kalian takuti itu.” (At-Taubah: 64)

Golongan manusia ini mempunyai jiwa rendah. Mereka menganggap bahwa tidak selayaknya iman itu dimiliki oleh orang-orang lemah, tidak selayaknya nikmat Islam itu diperoleh oleh orang-orang miskin, dan tidak selayaknya kemuliaan tauhid dimiliki oleh para budak.

Hati mereka dipenuhi dengan penghinaan dan kedengkian.

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’” (Ay-Zukhruf: 31)

“Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?” (Al-Baqarab: 13)

Mereka menghinakan keadaan orang-orang mukmin. Dulu, orang-orang yang bergelimang dengan kehidupan yang mewah tidak mau menerima dakwah kebenaran, tetapi yang menerima dakwah tersebut adalah orang-orang fakir dan orangorang miskin. Karena itu, kaum Nabi Nuh berkata,

“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)

Maka Allah menyingkap keadaan mereka itu dan membagi mereka menjadi dua golongan, yaitu, orang-orang munafik tulen yang tidak pernah merasakan atau terpengaruh oleh kebenaran dan orang-orang munafik yang dirinya masih terkena pengaruh hidayah, yang andaikata mau memperhatikan hidayah ini, pasti akan dibimbing menuju petunjuk.

Perumpamaan orang-orang munafik golongan pertama adalah

“Seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (Al-Baqarah: 17-18)

Adapun perumpamaan orang-orang munafik golongan kedua adalah

“Seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara petir), sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka; Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 19-20)

Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang telah dibutakan oleh nafsu syahwat dan yang terus-menerus berkubang di dalamnya, sehingga hati mereka tertutup oleh rasa iri, dengki, dan benci. Allah menyerupakan keadaan mereka dengan kegelapan. Kemudian Allah menyerupakan sisa-sisa kebaikan dengan hujan, menjadikan petir sebagai perumpamaan dari ancaman-ancaman, sedangkan kilat sebagai perumpamaan dari keterangan-keterangan nyata yang memberikan petunjuk sesaat kepada mereka, lantas hilang. Mereka kebingungan dengan keadaannya. Bukti-bukti petunjuk menyambar penglihatan mereka. Setiap kali dalil-dalil itu menerangi, mereka berjalan dalam cahayanya. Tetapi apabila syahwat meliputi diri mereka dengan kegelapannya, maka mereka tetap berada pada kekafiran dan kesesatan mereka. Bila menghendaki, Allah bisa menghilangkan cahaya-cahaya sekilas ini dan membiarkan mereka senantiasa berada dalam kegelapan
dan tidak dapat melihat.

Ikhwan semua…

Saya kira, saya cukupkan di sini kajian yang saya sampaikan.

Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada Sayidina Muhammad dan segenap keluarga serta sahabatnya..

DARI SAHABAT FB  MAXAVELLAR.CHAN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar