Ajaran Ibrahim Adalah Agama yang Lurus dan Kepasrahan…
MILLATU IBRAHIM
Menurut sejarah biblical Ibrahim As. lahir pada masa antara abad 20-19 SM di Ur-Kaldea.1
Lahir dari seorang ayah yang masih menyembah berhala, bahkan pembuat
patung berhala yang disembah oleh manusia. Pemuda Ibrahim yang merasa
aneh dengan penyembahan berhala, berusaha mencari Tuhan yang
sebenarnya, yang dapat memberi manfaat dan dan menghilangkan mudlarat
tidak seperti patung. Ibrahim (Abraham) oleh para peneliti diduga
merupakan salah satu pemimpin kafilah yang membawa rakyatnya dari
Mesopotamia menuju Laut Tengah pada akhir milenium ke tiga SM.2
Terlepas dari kebenaran dugaan tersebut, namun berita tentang
pengembaraan Ibrahim dari Kaldea menuju Kan’an agaknya sudah umum
diketahui pemeluk ketiga agama samawi. Oleh sebab itu kami hanya
menyorot pengembaraannya sebagai individu Ibrahim yang digambarkan oleh
al-Qur’an berusaha mencari hakekat Allah. Penelitian Ibrahim As.
terhadap kepercayaan masyarakat sekelilingnya, baik di tempat asalnya
-Kaldea- maupun negeri yang dilewatinya dalam pengembaraan, menghendaki
dirinya untuk menganalisa bentuk kepercayaan Yang berkembang.
Banyak pendapat tentang asal mula kepercayaan manusia, ada yang berpendapat bahwa kepercayaan itu dimulai dari rasa takut yang
kemudian manusia menyandarkan pada apa yang dapat membuatnya tenang,
ada yang mendasarkan pada kepercayaan terhadap roh hingga menimbulkan
kepercayaan Totemisme, ada yang mendasarkan pada kepentingan individu
dan umum, serta macam-macam perkiraan lain yang bukan dimaksudkan untuk
dibahas disini. Apapun yang mendasarinya, kepercayaan terhadap
penyembahan berhala adalah termasuk kepercayaan kuno. Suatu kepercayaan
yang menurut penganutnya dapat mendekatkan dirinya dengan sesembahan
yang diyakininya.
Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama
yang ada pada masa Ibrahim diwilayah timur tengah kuno, adalah
kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang,
bulan, dan matahari. Kaldea yang masuk wilayah Mesopotamia-Babilonia
mengenal penyembahan bintang-bintang seperti dewa Marduk yang mereka
anggap sebagai dewa perang, adalah planet Mars, serta dewa-dewa lain
hingga 12 dewa, yang nama-namanya dipakai dalam astronomi hingga
sekarang.3
Mesir kuno, mengenal penyembahan dewa Matahari sebagai dewa Re, yang adalah Matahari itu sendiri. Kepercayaan terhadap Re (dewa matahari) bertahan dari dinasti ke II (+- 3000
SM) raja-raja Mesir Kuno hingga dinasti Khofo (1400 SM). Hal dikuatkan
dengan ditemukannya tulisan di makam salah satu raja dinasti II, yang
menyebut dewa matahari dengan sebutan “Nabire”.4
Kepercayaan ini pada masa-masa selanjutnya berkembang menjadi banyak
dewa seiring perkembang perebutan kekuasaan yang menjadikan dewa
sebagai alat propaganda paling mujarab, maka tidak heran jika dewa-dewa
kemudian didatangkan dari luar.
Kepercayaan-kepercayaan yang
berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala,
bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam
surat al-An’am ayat 76-80.
Tatkala gelap malam mencungkupnya, ia (Ibrahim) pun
dapat melihat bintang-bintang. Maka katanya: “Ini adalah
Tuhanku.”Ketika bintang itu hilang, ia berkata: Aku tidak suka kepada
apa-apa yang hilang.”
Tatkala
ia melihat bulan muncul, ia berkata: “Inilah Tuhanku.” Ketika bulan
itu terbenam, ia berkata: “Kalau Tuhanku tidak menunjuki aku, tentulah
aku termasuk orang yang sesat. “
Ketika
ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku, ini lebih
besar.”Tetapi setelah matahari terbenam, ia berkata: ” Wahai kaumku!
Aku berlepas tangan dari apa yang kalian sekutukan.
Aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan kecenderungan kepada agama yang benardan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
Kaumnya
menyangkalnya, maka katanya:; ‘Adakah kalian menyangkal aku tentang
Tuhan, sedang Dia telah menunjuki aku dan aku tidak takut terhadap apa yang
kalian sekutukan, kecuali jika Tuhanku menghendaki sesuatu. Tuhanku
meliputi segala sesuatu dengan ilmuNya. Adakah kalian tidak dapat
mengambil pelajaran?”
Jika dilihat adanya upaya akal yang
kemudian dibarengi pengembaraan yang cukup jauh, agaknya Ibrahim juga
menggunakan media lain selain akal dalam upayanya, yaitu hati. Seperti
yang diceritakan oleh Qur’an bahwa beliau memiliki hati yang lembut dan
santun. Kriteria hati yang semacam ini hanya didapat dari olah batin
yang serius. Dengan upaya akal dan hati serta usaha yang sangat
bersungguh-sungguh inilah maka Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Penemuannya yang secara otodidak inilah yang menjadikan Ibrahim menjadi
orang yang sangat pasrah kepada Tuhannya. Sebab beliau sudah
membuktikan keberadaan Tuhan yang dicarinya itu melalui mata batinnya.
Pertemuannya dengan Tuhan ini tentu saja dengan sarana hati, sebab
otak hanya sebagai sarana awal dari pencariannya. Kepasrahan inilah yang menjadi ajaran Ibrahim sehingga ia menamakan dirinya muslim (orang yang pasrah).
Ajaran
Ibrahim pada masa itu tentu saja sangat bertentangan dengan pandangan
manusia tentang konsep ketuhanan. Di mana penyembahan berhala clan
dewa dewi lebih dapat mereka pahami dari pada pengesaan Allah. Adat
kekeluargaan yang kuat menjadi sarana untuk mempertahankan ajaran
beliau. Itulah sebabnya maka Nabi-nabi yang datang setelah nya
kebanyakan dari keturunan beliau -khususnya para nabi dan rasul yang
diceritakan oleh Taurat, Injil clan al-Qur’an. Nabi Musa yang datang
setelahnya juga masih mempertahankan keluarga besar Bani Israel sebagai
benteng ajaran Tauhid, walaupun pada masa itu paham umat manusia secara
umum belum mampu menalar ajaran Tauhid. Maka tidak heran jika beliau
harus berhadapan dengan Fir’aun yang menuhankan dirinya. Bahkan
sebagian umatnya pun pernah tergelincir mengikuti penyembahan berhala.
Hingga pada masa Uzair (Ezra) pun sistem kekeluargaan masih sangat
ketat, dimana bangsa Yahudi tidak boleh mengawini orang pagan.
Ajaran
ini terus berlanjut hingga masa menjelang kenabian Isa. Pada masa itu
ajaran dipegang erat oleh kelompok Esenes, sementara kelompok bani Israel
yang lain lebih memilih bergabung dengan masyarakat pagan Romawi yang
kala itu menguasai bangsa Yahudi. Dari kelompok inilah (Esenes) muncul
nabi Yahya (Yohanes pembabtis) yang berjuang melawan Romawi hingga
akhirnya tertangkap dan dibunuh akibat pengkhiatan sekte Yahudi lain
yaitu Farisi dan Saduki. Dua kelompok ini juga dicela oleh Yesus dalam
Injilnya. Nabi Isa As. yang melanjutkan perjuangan pendahulunya
ternyata mengalami hal yang sama. Pengkhiatan bangsanya yang berkomplot
dengan Romawi membuatnya hanya bertahan selama tiga tahun dalam masa
dakwahnya. Berkomplotnya sebagian bangsa Yahudi dengan Romawi inilah
yang mengakibatkan ajaran tauhid Yesus menjadi terasimilasi dengan
kebudayaan Romawi hingga menjadikan Tuhan yang Satu dipahami sebagai
tiga, walaupun masih tetap mengatakan “Esa”. Pada masa nabi Isa paham
`keluarga’ masih sangat kental, hingga beliau mengatakan : “…aku diutus hanya kepada dombadomba yang hilang dari umat Israel” . Hal ini bukanlah tanpa alasan, sebab pada masa itu bangsa lain
masih belum mampu menalar paham monoteisme. Apalagi bangsa Romawi yang
menguasai bangsa Israel, mitos dewa-dewi mereka masih sering
diceritakan hingga saat ini.
Melihat kesinambungan ini, mestinya ajaran Kristen
yang mengaku pengikut Yesus (Isa) adalah monoteisme. Yudaisme yang ada
sekarangpun tetap berpaham monoteisme, walaupun syariatnya menjadi
syariat nasionalisme. Kenapa Yudaisme tetap bertahan dengan
monoteismenya? Hal ini mudah ditebak karena hingga saat ini pun agama
Yudaisme hanya milik bangsa Yahudi. Artinya faktor “keluarga yang mampu
mempertahankan tradisi” sangat berpengaruh sebagai benteng ajaran
Monoteisme. Hanya saja ketika tradisi keluarga itu terlalu diunggulkan
maka jadilah ajarannya nasionalisme buta yang menganggap bangsa lain
sebagai budak.
Doa Nabi Ibrahim yang
menginginkan agar keturunannya menjadi para pemimpin agama terwujud
melalui kesinambungan peran keluarga dalam menjaga ajarannya. Keluarga
dari keturunan Nabi Ibrahim tidak saja yang dari Ishaq, tapi juga
Isma’il yang kelak menurunkan Muhammad.
Jika bangsa Yahudi/Israel memiliki silsilah nasab hingga sampai kepada Nabi Ibrahim melalui Nabi Ishaq, maka bangsa Arab khususnya keluarga nabi Muhammad juga memiliki nasab hingga
sampai kepada Nabi Ibrahim melalui nabi Isma’il. Kita tidak perlu
mengupas tentang nasab ini secara panjang lebar, sebab jika ada yang
mempertanyakan keotentikannya, maka hal itu juga berlaku pada nasab
nabi-nabi Israel (termasuk Yesus) kepada Ibrahim As. Maka yang akan
kita bahas adalah tradisi ajaran Ibrahim As, yang berada di tanah
Hejaz, lebih khususnya di tanah Makkah.
Pada masa jahiliyah, jazirah Arab -sebagaimana peradaban lainnya- masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan
benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan; seperti yang
telah kita bahas sebelumnya. Namun demikian ada diantara mereka yang
masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal-orang-orang
yang lurus). Tradisi Ibrahim ada pada mereka karena memang mereka
masih satu keturunan dengan umat Israel yaitu bangsa Semit. Sebagian
mereka menganut ajaran Yudaisme karena bersinggunangan dengan bangsa
Yahudi yang menempati daerah-daerah pertanian yang subur seperti Yasrib
(Madinah). Keturunan semit lainnya disekitar jazirah Arab sudah
mengenal ajaran Nasrani yang berkembang sejak abad 4 M. melalui Siria.
Paham yang mereka anut adalah monoteisme karena rata-rata mereka
mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian
mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).5
Secara umum, di Jazirah Arab,
paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat
bahwa faktor `keluarga’ masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran
tauhid. Tidak mengherankan jika ajaran Nasrani yang mereka anut
terdapat ajaran yang tidak mengakui ketuhanan Yesus, yang dianggap
gereja sebagai bid’ah.
Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Kakek Nabi -Abdul Muntalibmisalnya pernah berujar mengorbankan putranya -Abdullah ayah Nabi Saw-,
seperti yang pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim. Keponakan Rasulullah
Waraqah bin Noufal juga seorang tokoh ajaran ahnaf yang kemudian masuk
nasrani -sebelum kenabian Muhammad-. Beberapa ajaran Ibrahim dengan
tradisi Hanifiyah yang dicemooh oleh masyarakat Makkah pagan, adalah:
puasa Asyura, haji, menjauhi minum khamr (seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar), menyambung tali persaudaraan, shadaqah, memerdekakan budak
(ketiga hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Hakim bin Hizam sebelum
Islam),6 dan berkhalwat (menyepi-seperti yang dilakukan oleh Nabi); keseluruh ajaran ini mereka sebut tahannuts atau tahannuf.7 Tahannuf dalam bentuk khalwat adalah ibadah mengasingkan diri (`uzlah) dengan
hitungan tertentu. Dan ibadah semacam ini dilakukan oleh para nabi
seperti yang termaktub dalam Bibel (lihat bab Ibadah).
Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf,
adalah penyembahan kepada Allah saja, seperti yang pernah dinyatakan
oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, saat ditanya oleh Khadijah,
beliau menyatakan, “Aku tidak akan menyembah ‘Uzza selamanya”.
Satu pernyataan yang membedakan antara penyembahan kepada Allah dan
penyembahan lain dari kepercayaan Arab. Itulah sebabnya maka kata Allah
hanya menunjuk kepada Allah saja sebagai Tuhan yang tidak disekutukan
oleh para Ahnaf, Nazarean, dan Esenes. Masyarakat pagan Arab adalah
masyarakat yang terkontaminasi kepercayaan nenek moyang, hingga mereka
menempatkan ilah-ilah lain selain Allah, sepert Uzza, lata, dan Manat.
Itulah sebabnya maka nama-nama mereka pun mencerminkan kepercayaan
mereka, ada Abd Syams (hamba/penyembah matahari), ada Abdul Uzza (hamba uzza), dan ada juga Abdullah (hamba
Allah). Maka nama Abdullah (ayah Nabi) merujuk pada nama Allah seperti
yang disembah oleh para Ahnaf pengikut ajaran Ibrahim.
Ajaran monoteisme yang
diajarkan oleh Nabi Ibrahim yang sudah islam (pasrah kepada Allah
saja) kini dipertegas lagi oleh kenabian Muhammad, dengan menghancurkan
seluruh kepercayaan lama
yang menyimpang dari ajaran Ibrahim. Hal yang sama dilakukan oleh
Yahya As. dan Isa As. yang ingin membersihkan ajaran Musa As. dan
Ibrahim As. serta nabi-nabi bani Israel sebelumnya. Maka tidak
mengherankan jika kedua nabi yang hidup sezaman mendapat pertentangan
dari Yahudi dari sekte Saduki dan Parisi, hingga menyebabkan kematian
YahYa dan penganiayaan terhadap Isa As. dan pengikut keduanya.
Millatu Ibrahim di tangan Kristen
Monoteisme yang
diajarankan oleh Ibrahim dan dilestarikan oleh keturunannya hingga
masa Yesus, ketika dipegang oleh orang-orang Romawi -yang tentu saja
bukan dari
keturunan Ibrahim- ternyata melenceng dari tradisi yang
sudah dipegang selama berabad-abad oleh keturunan Ibrahim. Hal ini
dapat dimaklumi bahwa masyarakat Romawi yang tidak memiliki tradisi
keluarga monoteis seperti bangsa Yahudi masih dipenuhi pemikiran
filsafat helenisme dan kepercayaan pagan.
Anggapan
bahwa Yesus adalah `anak’ tuhan pada awalnya, ditambah Paulus dengan
menempelkan sifat-sifat ketuhanan pada Yesus untuk kemudian menjadi
bentuk imajener Kristus. Hal ini tergambar dalam ajaran Gereje Paulus yang berbicara tentang “Tuhan Bapak” dan “Anak Tuhan”. Masyarakat
Romawi dan Yunani yang empunya Filsafat Helenisme segera saja menerima
ajaran Paulus, karena pandangan mereka tentang ketuhanan adalah
Tripartite (tiga keberadaan). Mereka tinggal menambahkan satu unsur
saja yaitu Roh Qudus agar bisa selaras dengan pandangan mereka tentang
tuhan. Karen Armstrong (A History of God) yang mengutip pernyataan
tokoh pemikir Trinitas abad IV (Gregory of Nazianzus) menceritakan
bagaimana masalah masuknya Roh Kudus dalam jajaran Trinitas yang
diperkenalkan pada abad ke N telah menimbulkan banyak permasalahan.8
Kepercayaan masyarakat Romawi terhadap dewa-dewi saat itu amatlah kental hingga 2 misionaris, Paulus dan Barnabas dianggap sebagai dewa seperti yang tergambar dalam Perjanjian Baru :
:”… Tatkala
orang banyak nampak perbuatan Paulus itu, mereka itupun mengangkat
svaranya sambil berkata dengan bahasa Likaonia: ..Dewa-dewa telah turun
kepada kita menjelma menjadi manusia. Lalu digelarkannya Barnabas itu
Zius, tetapi Paulus Itu Hermes, sebab ialah pemberita yang utama. “(Kisah Rasul-Rasul 14:11-12).
Kini, sangat disayangkan bahwa pada saat manusia modern melihat paganisme sebagai hal yang dikesampingkan dan tahayyul, otoritas Gereja malah semakin getol mempertahankan penodaan monoteisme dengan kepercayaan peradaban kuno yang sering memandang dewa-dewa sebagai “tiga keberadaan”.9
Logika manapun tidak akan sampai pada pernyataan bahwa tiga adalah
satu, atau satu adalah tiga. Apalagi salah satu dari ketiganya adalah
dilahirkan oleh seorang wanita dan memakan makanan. Memang agak rumit,
umat Kristen percaya bahwa Tuhan itu satu, tapi pada saat yang sama
mereka percaya 100% bahwa Yesus adalah Tuhan, sama percayanya bahwa
Yesus juga 100% manusia.
Ajaran Ibrahim (monoteisme) yang
dipertahankan oleh keturunannya dari keluarga Ya’kub bin Ishaq (bangsa
Yahudi) dan Ismail (bangsa Arab) adalah ajaran yang hak, sebab pada
dasarnya manusia akan mengatakan bahwa Tuhan itu satu. Terbukti
masyarakat yang pada sekian abad lalu tidak mampu menalar, masyarakat
modern menganggap paham paganisme adalah kemunduran akal. Namun
demikian kenapa justru yang mengaku keturunan Ibrahim mengatakan tentang
Tuhan dengan hal-hal yang tidak selayaknya untuk dikatakan
terhadapNya. Padahal bangsa Yahudi hingga saat ini masih berpaham
monoteisme, walaupun mereka bersikap kejam terhadap Penganut ajaran
Ibrahim lainnya yaitu umat Islam. Allah terbebas dari segala apa yang
mereka sekutukan.
Yesus vs Paulus
“Dunia penuh dengan kekusutan ruhani dan kebenaran. Ada
banyak kondisi dan cara dimana kita melenceng tanpa mengetahui
betul-betul bahwa kita ini tersesat. Al – Kitab mengungkapkan betapa
canggihnya si penyesat ketimbang manusia yang disesatinya: “Iblispun
menyamar sebagai malaikat terang. “
Tetapi, 2000 tahun yang lalu, hal ini telah diperingatkan oleh Yesus:
‘ …..akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. ” (Yohanes,16: l)
Menyimak ayat Bibel, Yohanes,16:
2 sebagaimana tersebut diatas, bagi orang yang paham tentang sejarah
awal umat Kristiani, bahwa ucapan Yesus tersebut justru ditujukan
kepada Paulus dan pengikutnya yang telah membunuh pengikutpengikut
setia Yesus.
Umat Kristiani menyangka bahwa ia (Paulus) berbuat bakti bagi Allah,
sehingga dia diangkat sebagai Bapak Gereja sedunia. Padahal dialah
orang pertama yang menodai ajaran Yesus. Robert Morey melanjutkan
tulisannya.
“Itulah ciri-ciri dunia yang
kehilangan tolok hakiki: alasan aktual don nurani kejujuran. Yang
ramai adalah kesemuan yang membonceng kesejatian. Kembali ini
diperingatkan oleh Yesus bahwa sijahat selalu menaburkan benih lalang
di fengah-tengah benih gandum. Keduanya lalu tumbuh bersama, sulit
dibedakan, sulit di cabufi satu terhadap yang lainnya.” (Matius,13 : 24-30).
Maka menjamurlah alasan, fakta clan keadilan “tandingan” antara gandum clan lalang.
Siapakah penabur benih lalang sebagaimana disinyalir oleh Yesus yang
tercantum dalam Matius,l3 :24-30, itu? Tidak lain dia adalah Paulus,
seorang pengkhianat yang menyusup seolaholah menjadi murid Yesus.
Kemudian mengadakan kudeta terhadap ajaran Yesus, dan mendirikan agama
yang dia beri nama Kristen, pada tahun 40 Masehi di kota Antiokhia.
Simaklah informasi Bibel dibawah ini:
“Mereka
tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil
mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama
kalinya disebut Kristen.” (Kisah Para Rasul, 11 :26)
Secara jujur, marilah kita perbandingkan:
1.
Agama yang dibawa Yesus (Nabi Isa a.s.), bernama agama Nasrani.
Nasrani dari kata Nasaret, yaitu nama sebuah desa tempat kelahiran
Yesus.
Ajaran agama Nasrani antara lain:
a. Yesus dikhitan pada umur 8 hari
b. Yesus meninggal dunia diberi kain kafan.
c. Yesus tidak minum khamr (minuman keras).
d. Yesus tidak makan babi.
e. Yesus tidak makan darah.
f. Yesus adalah utusan Allah.
c. Yesus tidak minum khamr (minuman keras).
d. Yesus tidak makan babi.
e. Yesus tidak makan darah.
f. Yesus adalah utusan Allah.
Pengikut Yesus disebut kaum Khawariyun yaitu yang
kemudian disebut kaum Nazarean (Nasrani) kemudian Unitarian dan habis
dibantai oleh para pengikut Paulus dengan penjagalan yang disebut
“lembaga Inkuisisi”.
2. Agama yang dikembangkan oleh Paulus disebut agama Kristen, dilahirkan pada tahun 40 Masehi di kota Antiokia.
Diantara ajarannya adalah:
a. Khitan tidak perlu.
b. Meningggal dunia berpakaian pengantin.
c. Khamr (minuman keras) halal.
d. Babi halal.
e. Darah halal.
f. Yesus adalah Tuhan (oknum ke-2 dalam doktrin Trinitas).
Pengikut
Paulus disebut kaum Kristiani. Dengan uraian tersebut di atas,
hendaknya para pembaca dengan cermat bisa membedakan antara agama
Nasrani yang
dibawa oleh Yesus (Nabi Isa a.s.), dan agama Kristen yang dibawa oleh
Paulus, orang yang membunuhi pengikut-pengikut setia Yesus.
Maka jelas sekali, yang dimaksud oleh Yesus dalam ayat Bibel, Matius, 13: 24-30, tidak lain adalah Paulus.
Selanjutnya para pembaca juga harus cermat membedakan bahwa agama Nasrani yang
dibawa Yesus (Nabi Isa a.s.) disebut agama Samawi atau agama Langit,
namun agama Kristen yang dibawa oleh Paulus, tidak bisa disebut agama
Samawi atau agama Langit. Kristen adalah agama bumi karena hasil olahan
Paulus yang ayahnya orang Romawi clan ibunya orang Yahudi.
Kehidupan Kesukuan
Kebanyakan penduduk Arab
pada saat itu merupakan angota suku yang hidupnya mengembara, meskipun
ada juga suku-suku yang hidupnya menetap di satu tempat atau kota kecil, seperti Makkah. Mereka menjalani kehidupan dengan mengandalkan unta dan
ternak yang lainnya. Karena itu, kehidupan suku-suku ini ditentukan
oleh kondisi geografis. Di banyak daerah hujan sangat jarang terjadi.
Setelah musim penghujan di beberapa daerah akan muncul tumbuhan selama
beberapa minggu dan ke daerah itulah suku-suku pengembara bergerak,
tetapi ketika tumbuhan sudah kering mereka harus ke areal di mana
terdapat sumur dan tampungan air. Setiap suku membutuhkan daerah yang
lebih luas daripada yang bisa mereka pergunakan dalam satu waktu. Oleh
karenanya, terdapat suatu pemahaman tentang adanya hak sebuah suku
terhadap satu padang rumput, dan
sebuah suku yang kuat akan tetap mempertahankan haknya dengan
kekuasaan. Ketika sebuah suku sudah terlalu lemah untuk mempertahankan
haknya, suku tersebut dapat menarik suku lain yang kuat untuk mendukung dan melindungi, hubungan ini merupakan sesuatu yang lazim.
Selama berabad-abad, suku Badui di kawasan Hijaz dan Nejed telah hidup dalam persaingan tajam satu sama lain
demi memperebutkan kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk membantu
masyarakat menanamkan semangat komunal yang esensial bagi pertahanan
hidup, orang Arab telah mengembangkan sebuah ideologi yang disebut
Muru’ah, suatu konsep etik yang banyak mengandung fungsi agama. Dalam
pengertian konvensional, orang Arab hanya memiliki sedikit waktu bagi
agama. Mereka mempunyai sekumpulan dewa-dewa pagan dan beribadat di
tempat-tempat suci ini bagi kehidupan ruhani. Mereka tak memiliki
pandangan tentang kehidupan sesudah mati, tetapi percaya bahwa dahr,
yang dapat diterjemahkan sebagai “waktu” dan “nasib”, sangatlah penting
-sebuah sikap yang barangkali esensial dalam masyarakat yang angka
kematiannya begitu tinggi.
Muru’ah sering diterjemahkan sebagai “kejantanan”, namun kata itu memiliki cakupan pengertian yang
jauh lebih luas: Muru’ah bisa berarti keberanian dalam peperangan,
kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, dan kesetiaan mutlak kepada
suku.11
Nilai-nilai muru’ah menuntut seorang Arab untuk mematuhi sayyid atau
pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli keselamatan dirinya sendiri: dia
harus mendedikasikan diri kepada tugas-tugas mulia melawan semua
kejahatan yang dilakukan terhadap suku dan melindungi
anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin kelangsungan hidup suku,
sayyid membagi kekayaan dan harta miliknya dan membalas kematian satu
anggotanya dengan membunuh satu anggota suku si pelaku pembunuhan. Balas
dendam atau utang nyawa balas nyawa merupakan satu-satunya cara untuk
menjamin sedikit keamanan sosial di wilayah yang tak mengenal kekuasaan
sentral ini, di mana setiap kelompok suku merupakan hukum bagi dirinya
sendiri dan tak terdapat sesuatu yang bisa dipersamakan dengan
angkatan kepolisian zaman sekarang. Jika seorang pemimpin suku gagal
membalas dendam, sukunya akan kehilangan martabat sehingga suku-suku
lain akan merasa bebas untuk membunuh anggota sukunya tanpa dihukum.
Hukum balas, dengan demikian telah menjadi bentuk keadilan yang lazim.
Ini berarti bahwa tak ada satu suku pun yang dengan gampang dapat
memperoleh yang derajat lebih tinggi daripada yang lain. Ini juga
berarti bahwa berbagai suku dapat dengan mudah terlibat dalam lingkaran
kekerasan tanpa akhir, di mana satu penuntutan balas akan menimbulkan
pembalasan yang lain jika orang-orang merasa bahwa balas dendam itu
dilakukan secara tidak proporsional terhadap kesalahan asalnya.
Meskipun tak diragukan lagi kebrutalannya, muru’ah tetap memiliki banyak kelebihan. Muru’ah sangat menekankan egalitarianisme dan ketidakpedulian pada materi, yang, lagi-lagi, barangkali esensial dalam wilayah yang
tidak memiliki persediaan kebutuhan pokok dalam jumlah yang memadai:
kedermawanan merupakan kebajikan yang penting dan mengajarkan
orang-orang Arab untuk tidak mengkhawatirkan hari esok. Sifat-sifat
ini, sebagaimana akan kita saksikan, penting maknanya bagi Islam.
Muru’ah telah berdampak baik bagi orangorang Arab selama berabad-abad,
namun sejak abad keenam konsep itu tak lagi mampu menjawab kondisi
modernitas. Selama fase terakhir periode Pra Islam, yang oleh kaum
Muslim disebut periode jahiliyah (masa kebodohan), ketidak puasan dan
kekosongan spiritual telah menyebar luas. Orang Arab dikepung dari
semua sisi modern mulai menembus masuk ke Arab dari wilayah-wilayah
yang berpenghuni; para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak
membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban.
Namun, tampaknya mereka ditakdirkan untuk terus hidup dalam barbarisme. Peperangan antar suku yang
tak hentihentinya terjadi membuat mereka tak mampu mengumpulkan
sumber daya mereka yang hanya sedikit itu dan menjadi orang Arab
bersatu. Merek adapat menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah
peradaban sendiri. Sebaliknya mereka justru Senantiasa terbuka untuk
dieklploitasi oleh kekuatan-kekuatan besar: buktinya, wilayah yang lebih
subur dan canggih di Arab Selatan yang
kini dekenal sebagai Yaman (yang memiliki keuntungan dari hujan muson)
telah menjadi sekadar satu provinsi dalam wilayah kekuasaan Persia.
Pada saat yang sama, ide-ide baru yang menembus kawasan itu
memperkenalkan individualisme yang meruntuhkan etos komunal lama.
Kondisi keagamaan masyarakat (Jahiliyah)
Jazirah Arab
selatan, Arabia Felix kuno, dikenal karena kekayaannya, namun ketika
Rasulullah saw lahir (570) masa kegemilangannya tidak ada. Politeisme
kuno secara luar digantikan oleh pengaruh-pengaruh agama Yahudi dan
Kristen. Di Arab Tengah, agama yang lebih “primitif” masih tetap eksis,
disertai dengan kebiasaan membanggakan kekuatan suku yang hebat.
Gua-gua dan batu dianggap suci dan memiliki kekuatan yang diberkati,
barakah. Hal ini adalah kebiasaan bangsa Semit. Sebuah pusat
peribadatan batu adalah Mekkah, tempat Hajar Aswad (batu hitam) di
sebelah tenggara Ka’bah yang merupakan tujuan tahunan dari Haji
tahunan. Hubungan dagang dan pasarpasar didirikan selama empat bulan
suci, saat itu perang dan pembunuhan dilarang, serta anggota seluruh
suku dan keturunan bangsa Arab melakukan perjalanan ke tempat suci.
Bangsa Arab disituasikan dalam wilayah pengaruh Byzantium dan Persia,
keduanya merupakan rekan dagang masyarakat Mekkah dan ini memfasilitasi
kontak seluruh koloni Kristen mungkin tidak ditemukan dalam hati orang
Arab. Demikian pula, terdapat wilayah Yahudi dekat Madinah, bahkan
Raja Sheba berpindah ke agama Yahudi pada sekitar tahun 500.
Orang Yahudi dan Kristen,
mitra dagang yang sering berhubungan dengan orang-orang Arab, acap
mencela mereka sebagai orang-orang barbar yang tidak memperoleh wahyu
dari Tuhan. Orang Arab merasakan campuran rasa benci dan hormat kepada
orang-orang yang memiliki pengetahuan yang tak mereka punyai ini.
Yudaisme dan Kristen tidak mendapat banyak kemajuan di kawasan itu,
meskipun orang Arab mengakui bahwa bentuk agama yang progresif ini
sebenarnya lebih unggul daripada paganisme tradisional mereka. Ada beberapa suku Yahudi yang
tidak jelas asal-usulnya di pemukiman Yatsrib (kernudian menjadi
Madinah) dan Fadak, hingga ke utara Makkah, serta beberapa suku utara
di perbatasan antara imperium Persia dan Byzantium yang telah beralih
menganut aliran Monofisit atau Kristen Nestorian. Akan tetapi, orang
Badui sangat independen, mereka bertekad untuk tidak jatuh ke bawah
salah satu kekuatan adidaya seperti saudara-saudara mereka di Yaman dan
sangat menyadari bahwa baik orang Persia maupun Byzantium telah
menggunakan agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan pola-pola
imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga menyadari bahwa
baik orang Persia maupun Byzantium
telah menggunakan agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan
pola-pola imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga
menyadari secara naluri bahwa mereka telah mengalami dislokasi cultural
yang cukup parah, seiring erosi tradisi-tradisi mereka sendiri. Mereka
sama sekali tak merasa menginginkan sebuah ideologi baru, apalagi yang
terungkap dalam bahasa dari tradisi asing.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian ini pun
sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran
dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran
kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang
Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
Paganisme Arab
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab
dahulu banyak sekali macamnya. Setiap kabilah atau suku mempunyai
patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahansesembahan zaman
jahiliah ini pun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub. adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa
kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.
Ada tiga sesembahan Arab
kuno yang secara khusus disenangi oleh orang-orang Arab Hijaz, yaitu
Al-Lat (yang secara sederhana berarti “Dewi”) dan Al-Uzza (Yang
Perkasa), masing. masing memiliki kuil suci di Thaif dan Nakhlah,
sebelah tenggara Makkah, dan Manat (Sang Penentu), yang kuil sucinya
bertempat di Qudaid, di pesisir Laut Merah. Mereka sering disebut banat Allah, yang
arti harfiahnya Anak Perempuan Allah, tetapi tidak merupakan
sesembahan yang telah berkembang sepenuhnya, Orang Arab menggunakan
istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu hubungan yang
abstrak: dengan demikian, banatal-dahr (harfiahnya “putri-putri nasib”) sekedar bermakna ketidak beruntungan atau pasang surut kehidupan. Istilah banat Allah mungkin
sekedar merujuk kepada “wujud-wujud suci”, Sesembahan ini tidak
diwakili oleh patung yang realistic di dalam kuil-kuil, tetapi oleh
batu-batu besar yang berdiri tegak, seperti yang terdapat di kalangan
orang Kanaan kuno. Batu itu tidak disembah oleh orang-orang Arab secara
langsung, tetapi hanya menjadi sebuah focus keilahian. Seperti Makkah
dengan Ka’bahnya, kuil-kuil di Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah menjadi
lambing spiritual yang penting di dalam hati orang-orang Arab.
Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang
serupa itu. Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat
orangorang Arab guna menyampaikan penyembahan mereka dan memberikan
korban-korban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka
mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali
pulang, dan dibawanya pula dalam perjalan bila patung itu mengizinkan ia
bepergian. Namun ketika mereka menyembah patung-patung berhala itu,
maka tidaklah serta merta dikatakan bahwa mereka tidak meyakini adanya
tuhan, semua patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada
disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagal perantara antara penganutnya dengan
Allah. Sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Quran surat Az Zumar : 3: “Tidaklah kaml menyembah mereka melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Kepercayaan mereka tidak sebatas pada pengakuan adanya Tuhan saja. Orang Arab juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Hal ini juga tergambar dari pemberitaan Allah dalam Al-Quran surah Luqman ayat 25: “Jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab: Allah”. Tetapi
menurut pandangan Islam kondisi seperti ini mereka masih dikatakan
kafir dan musyrik. Sebab, mereka tidak menuhankan Allah SWT dalam
ubudiah. Mereka tidak tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah.
Mereka membuat cara, ajaran, dan nilai sendiri dalam mendekatkan
dirinya kepada Allah dengan cara membuat tuhan-tuhan dari kayu dan batu
untuk menjadi perantara mereka dengan Allah. Mereka lebih patuh kepada
peraturan yang mereka buat sendiri untuk menggantikan hukum yang telah
diturunkan Allah. Tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) Yang membedakan
antara seorang Islam dan orang yang kafir / musyrik.
Ahnaf pengikut Ibrahim
Setelah ekonomi pasar mulai terbangun, pandangan orang Arab
mulai berubah. Banyak yang masih puas dengan aliran kuno memuja
berhala, tetapi berkembang kecenderungan untuk menyembah satu Tuhan ;
dan kekhawatiran makin meningkat terhadap ketidakadilan peradaban baru
yang berkembang di Mekkah. Sebagian orang Arab mulai mencari kebenaran,
yang tidak puas dengan agama dominan bangsa Arab, yang berada dalam
wilayah keyakinan yang lebih tinggi. Orang-orang ini disebut hanif, dan
tampaknya percaya pada Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini adalah upaya untuk
menemukan bentuk monoteisme Yang lebih netral dan tidak ternoda kaitan
imperialistik. Sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, mengemukakan
kepada kita bahwa pada awal abad kelima beberapa orang Arab di Suriah
telah menemukan kembali apa yang mereka sebut agama asli Ibrahim, yang
berkembang sebelum Tuhan menurunkan Taurat atau Injil dan, dengan
demikian, bukan Yahudi atau Kristen. Tidak lama sebelum Rasulullah
menerima panggilan kenabiannya sendiri, penulis biografinya yang
pertama, Muhammad ibn Ishaq (w. 767), menjelaskan kepada kita bahwa
empat orang tokoh Quraisy Makkah memutuskan untuk mencari hanifiyyah, agama asli Ibrahim. Sebagian sarjana Barat telah menyatakan bahwa sekte hanifiyyah yang
kecil ini adalah sebuah fiksi agama yang menyimbolkan kegelisahan
spiritual zaman jahiliah, tetapi pasti memiliki dasar pijakan yang
faktual. Tiga di antara keempat hanif itu cukup dikenal oleh generasi
pertama muslim: Ubaidillah ibn Jahsy, keponakan Rasulullah; Waraqah bin
Naufal, yang akhirnya beragama Kristen; dan Zaid ibn Amr, paman Umar
bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Rasulullah dan khalifah kedua
dalam pemerintahan Islam. ada sebuah kisah bahwa pada suatu hari,
sebelum meninggalkan Makkah menuju Suriah dan Irak untuk mencari agama
Ibrahim, Zaid berdiri di sisi Ka’bah, bersandar ke bangunan suci itu
clan berkata kepada orang Quraisy yang sedang melakukan ritus
mengelilinginya dalam cara yang sudah dilakukan sejak lama: “Wahai
Quraisy, demi yang jiwa Zaid berada di tangannya, tak ada seorangpun
dari kalian yang mengikuti agama Ibrahim kecuali aku.” Kemudian dengan
sedih dia menambahkan, “Ya Tuhan, andaikan aku tahu bagaimana engkau
ingin disembah, niscaya aku akan menyembahmu dengan cara itu; namun aku
tidak tahu.”12
Kerinduan Zaid terhadap wahyu ilahi akhirnya terpenuhi di Gua Hira pada tahun 610 di malam ketujuh belas bulan Ramadhan, dengan kenabian Muhammad.
NOTES
1. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hal 37.
2. Ibid.
3. Abas Mahmud al-’Aqod, Allah, Nahdlatu Mihr-Cairo, 1998, hal. 74
4. Mu’jam al-Hadlarah al-Mashriyah al-Qadimah (Insklopedi Peradaban Mesir Kuno), hal. 170.
5. Dr. Husain al-Haj Hasan, Hadarah al-Arab fi Shadr al-Islam, al-Muassasah al-Jami’iyyah-Beirut,
Cet. I 1992, hal. 27.
6. HR. Bukhari.
7.
Menurut Ibnu Hisyam, tahannut adalah tahannuf, pemakaian tsa’ setelah
nun bersyidah rupanya berat bagi lesan Arab, maka bergeser merljadi
fa’. Maka makna tahannuf jika dirujuk keakar katanya ha, nun, fa;
kembali pada nama ajaran Ibrahim yaitu hanifiah. Kata tahannuf juga
berarti tabarrur (berbuat kebaikan) sebab ajaran Ibrahim (hanifiah) mengajarkan kebaikan.
8. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Op. cit., hal. 165
9.
Di Mesir kuno, sebelum munculnya paham pantheisme, muncul paham
tripartite yang mamandang dewa matahari berujud tiga, yaitu Khabire
(pagi), Re (siang), dan Atom (sore), pada masa selanjutnya menjadi
Isis, Osiris, dan Horus.
10. Robert Morey, The Islamic Invasion – confronting the World’s Fastest Growing Relegion, Scholars Press, Las Vegas, 1991,ha1 5
Anda hanya asal kutib buku tanpa anda tau siapa yg ngarang.. Banyak yg bs diperdebatkan dlm tulisan anda, tp 1 sj dl yg perlu diluruskan, ini hanya sekedar membuktikan anda hanya asal nulis.. Tafsir mat 13:24-30 itu bukan lah ditujukan utk masa paulus. Anda hrs bc ayat 39-43,
BalasHapus39) Musuh yang menaburkan benih lalang ialah Iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. (40) Maka seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Dst..
Jd jelas masa yg dimaksud adalah akhir zaman.. Ilmu anda n sumber anda hanya utk mencari pembenaran agama anda, ilmu comot jgn diterapkan pd tafsir alkitab .. Bro..