MELIHAT KITAB WAHYU ( APOCALYPSE ) LEBIH DEKAT


Penulis Kitab Wahyu (Apocalypse) mungkin merupakan Kitab satu-satunya yang mengakui dengan jelas peran inspiratif dalam penulisannya, Namun Kitab terakhir Perjanjian Baru ini masih saja menyisakan berbagai persoalan.

Secara tradisional penulisan Kitab ini dinisbatkan kepada Johannes, walaupun perdebatan masih terjadi merujuk kepada identitas Johannes yangdimaksud. Konon Kitab ini ditulis berdasarkan Mimpi-mimpi Johannes saat diasingkan di pulau Patmos. Mimpi-mimpi yang diasumsikan sebagai inspirasi Ilahiah terhadap Johannes berisi simbol-simbol aneh, yang tampaknya sangat menarik bagi penduduk di masa itu.
mimpiJohannes berisikan nubuat-nubuat apokalips dan kisah-kisah simbolis akhir jaman yang kebenarannya tidak dapat terbukti kecuali setelah terjadi. Untuk menguji kebenarannya, kita perlu meninjau petunjuk Perjanjian Lama :

Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.
Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? --
apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya." (Ulangan 18:20-22)

Melihat peringatan ayat tersebut, tampaknya penulis Kitab ini harus mempertaruhkan nyawanya di tangan Allah. Sebab, bila ia menulisnya tanpa dasar wahyu yang sesungguhnya, ia telah melakukan dosa yang sangat besar. Ayat di atas dapat pula diterapkan pada pernyataan-pernyataan Paulus dalam berbagai suratnya, yang mengatasnamakan ajaran atau ucapan Yesus.

Sebenarnya tiada yang istimewa dari nubuat Johannes, Seorang awam dapat saja meramalkan terjadinya peperangan, bencana alam, kelaparan, wabah penyakit di masa depan tanpa perlu menjadi rasul atau peramal. Tidak lain karena hal-hal tersebut (peperangan, bencana, wabah) merupakan suatu kepastian yang mesti terjadi tanpa perlu diramalkan, peristiwa-persitiwa itu sudah terjadi bahkan sejak manusia menginjakan kakinya di dunia. Satu-satunya taruhan besar yang dilakukan penulis Wayhu adalah saat mengatakan bahwa akhir jaman telah dekat.

Pernyataan akan kedatangan akhir jaman memang selalu menjadi favorit pemuka Agama yang ingin mendapatkan banyak penganut secara instan. Entah telah berapa ribu orang yang memproklamirkankan kedatangan akhir jaman, tetapi pada akhirnya perhitungan mereka semua yang mengaggukan tersebut terhempas ke tanah dan terkubur oleh waktu.

Kaum Yahudi (atau kristen) saat itu memang sangat menyukai kisah-kisah nubuat kehancuran jaman, dimana kaumnya akan memenangkan peperangan melawan kafir, dan sungguh mereka tidak sabar atas kedatangan peristiwa tersebut. Yesus sendiri, mendapatkan banyak dukungan ketika ia mengikrarkan kedatangan akhir jaman, para pendukungnya mengira Yesus sendiri yang akan memimpin perlawanan terhadap kekaisaran Romawi, sayangnya harapan tersebut tidak terjadi dan Yesus akhirnya tidak melakukan perlawanan apapun terhadap kekaisaran.

Tetapi tetap saja, umat Yahudi pasca kematian Yesus tetap menantikan akhir jaman tersebut. Berbagai kisah apokalips palsu disusun atas kemauan mereka sendiri dan menisbatkan penulisannya terhadap orang-orang terpandang seperti Petrus dan tokoh penting lain. Salah satunya adalah Kitab Apocalypse of Peter merupakan salah satu Kitab apokrip yang ditulis sekitar tahun 100-150 M., seratus tahun setelah kematian Petrus yang asli ! Selain itu dikenal juga Kitab kisah apokaliptik atas nama Yakobus dan Paulus, keotentikan keduanya sangatlah diragukan.

Kaum Yahudi sebelum masa Yesus juga gemar membuat Kitab serupa yang penulisannya diatributkan kepada nabi-nabi mereka, seperti Musa, Nuh dan Henokh. Semua itu demi memenuhi ketidaksabaran mereka atas kedatangan messias yang akan membawa mereka keluar dari penderitaan selama berabad-abad. Sedih melihat kenyataan bahwa ketika mesias tersebut benar-benar datang, mereka menyangkalnya. Saat para penulis Perjanjian Baru menyusun karyanya pun, mereka meyakini dekatnya akhir jaman. Termasuk penulis Kitab mimpi ini, ia mengatakan :

“Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.”(wah 1:3)

Mereka bertambah yakin atas dekatnya akhir jaman setelah melihat kaumnya dibantai penguasa Romawi yang mereka anggap sebagai perwujudan sang setan. Mereka tidak mengetahui perkembangan masa depan dimana “sang setan” akan berteman dengan kaumnya sendiri, yaitu saat Konstantin memproklamirkan agama Kristen tirinitas sebagai agama negara. Akhir jaman tampaknya harus tertunda beberapa abad lagi.

mimpi Johannes berbentuk analogi-analogi atau simbol-simbol yang tidak masuk akal. Kisahnya harus diartikan secara khusus atau Kitab ini tidak berharga sama sekali. Bagaimanapun seluruh isi Kitab ini merupakan mimpi seorang Johannes, patut kita pertanyakan mengapa Yesus tidak sempat memberikan kisah-kisah atau pernyataan-pernyataan ini selagi hidup agar dapat diketahui seluruh muridnya, mengapa tidak ada suatu Kitab tersendiri berjudul “The apocalypse of Yesus” yang ditulis oleh Yesus sendiri ? Dan mengapa ia harus menyatakannya dalam mimpi Johannes yang tidak dikenal. Pengakuan keotentikan dari para Bapak Gereja awal juga beragam, sebagian menolak dan lainnya menerima. Marilah kita menyimak sejarah penerimaan Kitab ini sebagai anggota Kitab suci.

Sejarah Penerimaan

Secara tradisional penulis Kitab ini adalah rasul Johannes, tanpa memperdulikan berbagai persoalan yang diakibatkan keputusan ini. Tradisi menyebutkan Johannes sempat menulis beberapa karya lain dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil, surat-surat dan Kitab wahyu ini. Sayangnya sampai saat ini kita masih belum menemukan bukti kuat untuk mendukung pandangan tersebut. Dukungan teori ini memang muncul melalui pernyataan beberapa bapak gereja awal, khususnya Iranaeus. Menurutnya Johannes mendapatkan visi saat diasingkan di pulau Patmos oleh rejim Dominitian, sekitar tahun 95 M.. Sedangkan sarjana modern yang menyangkal kepenulisannya turut mendapat dukungan dari karya-karya bapak Gereja awal seperti Dyonisius, Papias, dan Eusebius.

Marcion yang mencium aroma Yahudi yang kuat pada Kitab ini tidak ketinggalan menolak keotentikannya. Para Alogi dan Dynosius menganggap baik Injil maupunKitab wahyu sebagai karya heretis Cerinthus. Pandangan mereka cukup mempengaruhi pandangan Gereja Timur secara umum, sehingga tidak serta merta menerima kanonitas Kitab ini. Dalam riwayat lain, Kitab ini absen dari Kitab sinopsis Athanasius, daftar tujuh puluh Kitab, Pesshita (Bible Syria) dan berbagai catatan penting lainnya. Kelompok Nestorian dan Jakobian turut menolak otoritas Kitab ini. Kaum Kristen Syria hingga saat ini menolak karena melihat penggunaan Kitab ini dalam kalangan heretis Montanis. Sebaliknya Gereja barat secara umum menerima otoritas Kitab ini, kecuali Jerome yang menempatkanya dalam status diragukan, berada di antara status canonikal dan apokripa.

Pada dasarnya penolakan didasarkan atas perbedaan penggunaan bahasa Yunani dalam Kitab ini yang berbeda apabila dibandingkan dengan teks Injil Johannes yang dianggap ditulis oleh orang yang sama. Bagaimanapun kita tidak boleh menganggap ringan pandangan ini. Perbandingan gaya penulisan merupakan satu bentuk pengujian keotentikan yang cukup akurat. Bila kita dapat menerapkan pengujian tersebut terhadap tulisan-tulisan Paulus, mengapa kita tidak dapat menerapkan ujian yang sama pada karya-karya yang dianggap ditulis oleh Johannes ?

Tom Harpur dalam "America obsessed with future apocalypse” hal 57 menyebutkan bahwa penulis Kitab wahyu menggunakan bahasa Yunani kasar, sedangkan Injil Johannes terkenal atas bahasa Yunani halusnya. Bila menggunakan pertimbangan tersebut, tampaknya rasul Johannes lebih memungkinkan untuk menulis Kitab ini daripada Injil. Dengan asumsi rasul Johannes Hanyalah seorang nelayan galilea yang berbicara dengan bahasa Aramia dalam kehidupan sehari-harinya. Atas dasar itulah ia tentunya tidak akan menulis suatu karya dengan bahasa Yunani yang sempurna. Dyonisius bahkan mempertimbangkan nama Johannes Markus sebagai penulis Kitab ini, dengan dasar kesamaan penggunaan bahasa kasar dalam Injil Markus.

Perbandingan bahasa bukan satu-satunya alat penguji keotentikan Kitab ini. Ada dua ujian lagi yang harus dilewati. Tidak lain adalah kesulitan waktu. Dengan anggapan rasul Johannes menulis Kitab ini di akhir abad pertama di pulau Patmos, akan bertentangan dengan pandangan bahwa Johannes yang sama menulis Injinya pada waktu yang sama di Efesus atau daerah lain diluar Patmos. Selain itu ia pastilah telah berumur sangat tua saat menulis Kitab ini. Dengan perkiraan ia menjadi murid Yesus saat berumur 20 tahun-an (ia merupakan murid termuda), ia telah berumur seabad lebih saat menulis Kitab ini. Mampukah seseorang berumur seabad lebih menulis beberapa Kitab sekaligus ? Beberapa riwayat bahkan menyebutkan waktu kematian yang lebih awal bagi Johannes. Kesulitan selanjutnya adalah perbedaan dari sisi teologi.

Perbandingan Injil Johannes dan Kitab wahyu menunjukan muatan teologi yang berbeda, Dyonisius turut menyadari hal ini sehingga tekadnya untuk menolak otoritas rasul Johannes atas Kitab ini menguat.
Perbedaan lain yang dianggap kadang terlewatkan adalah frase favorit Injil Johannes, “murid terkasih”, yang tidak pernah disebutkan dalam Kitab ini. Dibandingkan dengan surat Johannes (I, II dan III Johannes), Penulis Kitab ini juga tidak malu membubuhkan namanya, berbeda saat ia menulis surat-surat Johannes yang miskin identitas. Masih dari segi bahasa, saat Injil Johannes membicarakan Kristus sebagai “domba”, ia mengggunakan kata”amnos”, sedangkan Kitab wahyu menggunakan kata “arnion”. Selajutnya dalam penyebutan kata Jerusallem, Penulis Injil menyebutnya sebagai “ierosoluma”, sedangkan Kitab wahyu menggunakan kata “ierousalem”. Penulis Kitab wahyu tampaknya masih terpengaruh bahasa Ibrani yang kuat, sedangkan Injil Johannes menunjukan penguasaan bahasa Yunani lebih sempurna.

Waktu Penulisan

Sesuai dengan riwayat Iranaeus yang menyebutkan bahwa Johannes menperoleh visinya pada masa akhir kekuasaan Dominitian, maka penentuan masa yang lebih awal menjadi semakin mustahil. Tradisi menyebutkan bahwa Iranaeus merupakan kawan dari Polycarp, yang pernah menjadi murid Johannes di Efesus. Masalahnya, dengan perkiraan masa Dominitian sebagai waktu penulisan Injil ini, maka Johannes pastilah telah berumur sekurangnya seratus tahun saat menulisnya ! Selain itu nubuat mengenai kehancuran Jerusalem akan menjadi sia-sia karena telah terjadi. Itulah sebabnya para sarjana konservatif terus berusaha mencari alasan untuk menempatkan waktu penulisan Kitab ini sebelum kehancuran kuil Jerusallem, dalam jangka waktu tahun 60-69 M. atau sebelum rejim Nero. Keputusan ini meninggalkan pertanyaan tempat penulisan karena Johannes mengaku penulisan Kitab ini dilakukan di pulau Patmos (1:9). Tidak ada riwayat yang pernah menyebutkan bahwa Johannes diasingkan di pulau tersebut oleh Nero atau kaisar sebelumnya.
Pandangan mengenai waktu penulisan Kitab yang lebih awal (60-69 M.) memiliki dasar-dasar sebagai berikut, dan sebagai pembantahan saya menggunakan argumen E.B. Horae Elliott :

Sarjana konservatif akan mengacu pada nubuat Johannes mengenai kehancuran kuil, yang mengindikasikan bahwa Kitab ini ditulis sebelum peristiwa tersebut. Tetapi kenyataanya nubuat ini tidak harus ditujukan terhadap kuil Jerusallem, perumpamaan mengenai kuil biasa dilakukan oleh penulis-penulis Yahudi lainnya seperti Ezeliel, Daniel, Zakaria, dll.. Elliot melihatnya dari sisi yang tidak jauh berbeda, ia menganggap nubuat mengenai kehancuran kuil hendaknya tidak diartikan secara literal atau fisik, tetapi harus ditafsirkan secara lebih luas seperti simbol-simbol lain yang Johannes berikan dalam Kitab ini.

Beberapa sarjana konservatif menuduh Iranaeus telah memberikan riwayat yang ambigu atau bahkan keliru saat menyebutkan bahwa Johannes memperoleh visinya di masa akhir Dominitian. Riwayat Iranaeus merupakan batu sandungan utama bagi penentuan waktu penulisan yang lebih awal. Dengan kata lain, Seorang sarjana konservatif mau tidak mau harus menolak kredibilitas pencatatan sejarah oleh Iranaeus. Apabila hal tersebut benar terjadi, Sesungguhnya para sarjana tersebut telah melakukan keputusan yang sangat subjektif, mereka hanya menerima pandangan yang sesuai dengan pendapat pribadi mereka, yang senantiasa melekat dengan dogma-dogma dan pandangan tradisional. Elliot dalam hal ini berusaha mempertahankan kredibilitas Iranaeus. Menurutnya Iranaeus merupakan salah satu sarjana Kristen awal yang paling terkemuka, ia mendapat ajaran langsung dari Polycarp yang merupakan murid langsung Johannes.

Meurut para sarjana tradisional, riwayat Iranaeus merupakan satu-satunya dukungan terhadap penentuan waktu penulisan yang lebih akhir, sebaliknya terdapat lebih banyak dukungan terhadap penetuan waktu yang lebih awal. Kita akan melihat bahwa pandangan ini tidaklah tepat, Elliot akan menunjukan fakta yang berkebalikan. Ia mencatat setidaknya beberapa nama bapak Gereja awal yang mendukung pandangan Iranaeus, pribadi-pribadi tersebut turut memiliki kredibilitas yang tinggi. Mereka adalah Tertullian, Clement dari Alexandria, Cvictorinus, Eusebius dan Jerome. Sebaliknya dukungan terhadap waktu awal sangatlah sulit untuk ditemukan dan kadang berasal dari sarjana yang kredibilitasnya diragukan.

Penulisan Kitab ini dilakukan pada masa umat Kristen diburu dan dibantai, oleh karena itu rejim Nero merupakan waktu yang paling tepat. Pandangan ini, tentu saja, menyisakan berbagai pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Penyiksaan yang terjadi terhadap umat Kristen diketahui terjadi pada tiga masa pemerintahan Romawi, yaitu Nero, Dominitian dan Trajan. Ketiga rejim tersebut memiliki cara yang berbeda dalam menyiksa umat Kristen, dan Nero merupakan pengguna metode yang paling keras dan kejam berupa pembakaran dan pembantaian. Dominitian diketahui hanya mengasingkan umat Kristen dan menghindari pembantaian. Tentu saja ini akan menjadi dukungan bagi pandangan bahwa Johannes menulis kitab ini di pulau Patmos saat diasingkan rejim Dominitian.

Bila Johannes menulis kitab atau Injilnya pada masa Nero, ia mungkin akan menerima perlakuan yang sama seperti yang dialami oleh Petrus dan Paulus, tidak lain adalah hukuman mati ! Kekejaman Nero diketahui hanya meliputi daerah sekitar Roma, sedangkan Dominitian mencapai daerah asia Minor. Oleh karena itu dapat dipahami adanya peringatan Johannes terhadap tujuh gereja di Asia Minor (Wah 1:11).

Beberapa pertanyaan lain akan muncul dengan asumsi kesamaan identitas penulis kitab wahyu dan Injil Johannes, apakah Johannes menulis kitab wahyu sebelum Injil, atau sebaliknya ? Mengacu pada kesimpulan tersebut, maka penentuan waktu penulisan akan dilihat dari perbedaan bahasanya karena perkembangan bahasa kedua kitab diperkirakan memerlukan waktu berpuluh tahun. Pertanyaan kedua kemudian muncul, bila Johannes menulis kitab wahyu terlebih dahulu di pulau Patmos, lalu dimanakah ia menulis Injilnya ? Johannes diyakini mengakhiri hidupnya tidak lama setelah kembali dari pengasingan di pulau Patmos, sedangkan penulisan Injil diyakini dilakukan di Efesus. Tidak ada tradisi yang menyebutkan bahwa Johannes yang tua renta melakukan perjalanan dari Patmos ke Efesus.

Selain itu perbedaan penggunaan gaya bahasa cukup menyulitkan para sarjana untuk merekonstruksi sejarah penulisan dua karya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Masalah lain, sangatlah sulit untuk membayangkan Johannes menulis Injilnya pada umur yang sangat tua. Seorang normal berumur seabad bahkan penglihatannya sudah kabur, dan kemampuannya untuk menulis sangat rendah.

Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa, siapapun penulis kitab ini sebenarnya, ia menulisnya pada masa Dominitian atau sekitar tahun 96 M.. Selanjutnya beberapa sarjana menganggap kitab wahyu sebagai penutup turunnya wahyu, sehingga karya-karya yang ditulis setelahnya tidak sempat mendapat “inspirasi” Roh Kudus. Pandangan ini menimbulkan akibat yang lebih serius lagi, bila Johannes menulis kitab wahyu sebelum kehancuran kuil Jerusallem tahun 70 M., mau tidak mau kita harus membantah kebanyakan kitab Perjanjian baru yang ditulis paska masa tersebut, termasuk beberapa Injil.

Metode Penafsiran

Seperti diketahui bahwa Johannes menggunakan simbol-simbol dalam pemaparannya mengenai hari akhir. Saya tidak akan berusaha untuk menafsirkan simbol-simbol tersebut, tetapi lebih membicarakan metode-metode penafsiran simbol-simbol tersebut oleh para sarjana. Dalam hal ini para sarjana terbagi atas empat golongan penafsiran.

Pendekatan para Praeteris

Dengan kata lain menganggap kitab wahyu hanya menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi di abad pertama, tentu saja dengan dasar Johannes menulisnya beberapa saat setelah kehancuran Jerusallem. Karena menceritakan hal yang telah terjadi, istilah “nubuat” perlu diganti dengan “mengisahkan”. Selain mempertimbangkan bahwa sudah menjadi gaya sastra saat itu untuk mengisahkan kejadian yang telah terjadi seolah-olah kejadian tersebut belum terjadi dan diramalkan akan terjadi. Pemaparan Johannes yang mencakup kehancuran kuil, beberapa kekejaman yang terjadi atas umat Kristen, wabah, dan lain-lain, memang pernah terjadi di abad pertama.

Pendekatan para Futuris

Pendekatan ini dilakukan oleh sebagian umat Kristen, mempercayai bahwa kitab wahyu berisikan nubuat-nubuat kejadian yang menyertai kedatangan kedua Yesus. Tanda-tanda akhir jaman memang sudah terjadi, tetapi beberapa belum terpenuhi. Salah satu tanda yang akan menyertai akhir jaman maupun kedatangan kedua Kristus adalah jatuhnya Jerusallem ke tangan anti-Kristus. Walaupun banyak yang membaca anti-Kritus disini sebagai pasukan setan, banyak juga yang menafsirkan anti-Kristus sebagai kaum Yahudi atau Muslim. Para Kristen fundamentalis Amerika umumnya memilih pemikiran terakhir tersebut, menurut mereka dukungan terhadap Israel akan mempercepat turunnya sang Yesus. Disebutkan pula bahwa kaum Yahudi yang membantu perebutan Jerusallem dari tangan Muslim akan kebagian “keselamatan”, dan pada akhirnya menjadi Kristen. Pemikiran semancam ini sangat dipengaruhi oleh iklim politik Amerika-Israel dan Timur tengah yang berbau propagandis.

Pendekatan Historis

Tidak jauh berbeda dari pendekatan yang dilakukan para Futuris, golongan ini beranggapan bahwa sebagian besar kejadian atau nubuat dalam kitab wahyu telah terjadi, sejak penyiksaan yang dilakukan terhadap umat Kriten oleh Nero. Salah satu kejadian penting yang belum sepenuhnya terjadi adalah kejatuhan Jerusallem ke tangan anti-Kristus. Dalam hal ini saya perlu meluruskan pandangan kebanyakan umat Kristen bahwa sang anti-Kristus adalah kaum Muslim. Bila benar Muslim adalah sang anti-Kristus, akhir jaman pastilah telah terjadi beberapa abad lalu, saat kaum Muslim berhasil menduduki Jerusallem di perang salib.

Pendekatan Idealis

Penafsiran kitab wahyu yang dilakukan secara idealis berarti tidak mengartikan simbol-simbol didalamnya secara khusus, melainkan secara umum. Seluruh materi didalamnya hanya diartikan sebagai simbol pertempuran abadi antara kebaikan melawan kejahatan. Simbol tersebut dapat diterapkan terhadap kejadian apapun, yang tidak spesifik dan berlaku sepanjang jaman.

Empat pendekatan di atas dilakukan dengan dasar kepercayaan bahwa rasul Johannes benar-benar menulis kitab ini berdasarkan visi atau inspirasi dari Tuhan. Bila kita menyangkal keempat pandangan tersebut, kita bisa memilih pendekatan kelima, yaitu pendekatan “omong kosong”. Menurut metode ini, kita harus melihat segala kisah aneh dan simbol-simbol dalam kitab ini sebatas halusinasi atau mimpi buruk yang di alami si penulis dalam tidurnya, entah apapun penyebab timbulnya keadaan tersebut. Beberapa jenis tetumbuhan atau jamur terbukti dapat menimbulkan halusinasi. Kontemplasi yang berat juga dapat menyebabkan keadaan tersebut. Tapi marilah kita tidak terburu-buru mempercayai pendekatan ini.

Perkembangan penafsiran kitab wahyu yang dilakukan kaum futuris-historis selalu berkembang seiring jaman, berbagai peristiwa penting seperti peperangan dan bencana seakan-akan menandakan dekatnya akhir jaman. Setiap penafsir memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan simbol-simbol, dan ini sangatlah relatif. Sebagai contoh, seorang sarjana konservatif Protestan akan menafsirkan “Babylon” atau “kerajaan anti-Kristus” sebagai gabungan dari negara-negara Eropa yang dimotori Inggris dan Roma akan bangkit melawan Israel dalam Armageddon, tentu saja perang ini akan dimenangi kaum Israel dengan bantuan Tuhan. Selajutnya kaum Yahudi akan memeluk agama Kristen. Versi yang berbeda akan kita temukan apabila seorang Katolik Roma (Eropa) menafsirkan “Babylon”. Mereka akan menuduh Amerika sebagai kerajaan “Anti-Kristus” tersebut. Setiap sekte Kristen akan memiliki pandangan tersendiri dalam menafsirkan simbol akhir dunia, dan pada akhirnya hanya Tuhanlah yang akan membuktikan kebenaran.
                                                     <<<<<< K E M B A L I <<<<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar