Ruben Abu Bakr, Menanti Tanda dari Langit

REPUBLIKA.CO.ID, Ia terpesona bagaimana Alquran menjelaskan proses penciptaan manusia.

"Allah, ini adalah saat bagi saya untuk terjun ke Islam. Yang saya butuhkan hanya sebuah tanda. Hanya tanda kecil, mungkin sedikit petir, atau mungkin rumah yang runtuh.'' 

Begitulah, Ruben Abu Bakr pernah menantang Allah SWT sebelum berislam. Ia lalu menyalakan lilin, membuka jendela, dan menanti sebuah tanda dari langit.

Ruben adalah pria asal Australia yang sangat humoris. Semula, ia adalah seorang ateis. Akan tetapi, belakangan ia berhasrat mencari keberadaan Tuhan. Dia kemudian mempelajari seluruh agama, dari Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, hingga Yahudi. 

Akhirnya, Ruben justru jatuh cinta pada Islam, agama yang awalnya sangat ia benci gara-gara isu terorisme. Karena itu, dia menyingkirkan Islam dari daftar pencarian agamanya.

Namun aneh, langkah kakinya justru membawa dia ke sebuah masjid dan bertemu dengan sosok yang luar biasa. Dia pun menceritakan kisah lucunya saat menantang kekuasaan Tuhan kaum Muslim yang justru membuat badannya menggigil ketakutan. 

Sebab, setelah menantang, yang ia rasakan justru keagungan Allah. Kisah Ruben bermula ketika ia duduk di bangku kuliah. Kala itu, ia harus menghadapi beragam peristiwa berat. Sahabatnya tewas karena narkoba. 

Tak lama kemudian, orang tuanya bercerai. Ia pun dilanda kemiskinan. "Bahkan, anjing peliharaanku pun mati,'' cerita Ruben yang besar di Melbourne dari keluarga ateis ini.

Frustrasi atas musibah kematian kerabat yang terus dihadapinya, ia pun bertanya-tanya tentang tujuan hidup. Tentu, hidup tak sekadar untuk mati. Berangkat dari pemikiran itu, ia pun mencari keberadaan Tuhan dengan meneliti setiap agama yang ada. 

Nasrani menjadi agama pertama yang mendapat perhatian Ruben untuk diselidiki. Hal ini mengingat hampir semua temannya menganut agama berkitab suci Injil tersebut. 
Ruben pun menuju gereja dan mendapati orang-orang bernyanyi memuji Tuhan dan mengatakan Tuhan Mahapengasih.

Pengalaman pertamanya ke gereja tak serta-merta membuat Ruben puas. Ia terus mempelajari Kristen, termasuk tentang Katolik, Anglikan, Baptisme, imam, pendeta, dan lain sebagainya. 

Ia pun memiliki banyak pertanyaan mengenai Kristen dan merasa tak cocok dengan agama ini.

Pencarian pun berlanjut. Ia beralih menyelidiki agama Buddha. Kebetulan, Ruben yang bekerja paruh waktu di pom bensin berteman dengan seorang beragama Buddha. Ia tercengang ketika tahu tuhan Buddha berkepala gajah. 

"Mengapa pria memiliki kepala gajah? Dapatkah kita memilih kepala singa? Atau sesuatu yang lebih perkasa?" tanya Ruben kepada temannya.

Ruben menganggapnya tak logis. Ia juga sempat mempelajari agama Mormon. Awalnya, dia menilai, ajaran agama ini sangat baik karena tidak memperbolehkan penganutnya meminum alkohol, kafein, dan cola.

Namun, Ruben tak menemukan kebaikan iman di agama ini. Ia kemudian menyelidiki agama Yahudi. Namun lagi-lagi, Ruben tak menemukan apa yang ia cari.

Merasa upayanya sia-sia, ia lalu menemui seorang temannya untuk berkonsultasi. Si teman yang beragama Kristen pun bertanya, "Bagaimana dengan Islam?" 

Ruben pun sontak menolak. ''Apa? Islam? Untuk apa aku menyelidiki agama terorisme? Gila!" seru Ruben.

Masuk masjid
Bagai menelan air ludah. Terbukti, lidah Ruben tak sesuai dengan tubuhnya. Ia kemudian melangkah memasuki masjid ketika suatu kali melewatinya. "Aku tidak tahu apa yang menggerakkanku, yang jelas aku mengenakan sepatu dan langsung masuk begitu saja. Aku pikir, aku akan mati di masjid karena aku satu-satunya orang kulit putih.''

Ruben pun bertemu dengan seorang pria berperawakan besar asal Timur Tengah, berjanggut dan mengenakan gamis. Ruben menggambarkannya mirip para tersangka teroris. 

Dan yang mengagetkan, sosok tersebut menyapa sangat ramah, bahkan menyuguhkan sajian layaknya menerima tamu. ''Namanya Abu Hamzah. Aku tak pernah membayangkan akan mendapat perlakuan seperti ini,” kenangnya.

Betapa arogannya aku menuntut tanda, padahal matahari dan semua yang diciptakan-Nya merupakan tanda.'' 

Ruben pun serta-merta menanyakan banyak hal tentang Islam. Misalnya, mengapa Abu Hamzah berjanggut dan mengapa Muslimah berhijab. 

Ia tanyakan pula mengenai praktik poligami dan lain sebagainya. Saat itu, Ruben dengan sombong menyangka pertanyaan itu sangat berat dan akan menyulitkan Abu Hamzah. 

Namun, lagi-lagi Ruben tercengang. Abu Hamzah mengambil Alquran dan menjelaskannya sesuai firman Allah. "Mereka selalu membuka Alquran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini sendiri. Mereka mengatakan tak boleh beropini tentang firman Tuhan," tutur Ruben terpesona.

Ia pun membawa pulang sebuah kitab Alquran dari masjid tersebut. Ruben membaca terjemahannya dan sangat terkagum-kagum. Ia terpesona bagaimana Alquran menjelaskan proses penciptaan manusia. Butuh enam bulan bagi Ruben untuk menelaah Alquran, hingga ia menyimpulkan, ''Inilah yang aku cari dan perlukan.''

Dari tahap awal tersebut, Ruben pun berpikir untuk menantang Allah sebelum benar-benar bersyahadat da memeluk Islam. Ia menyalakan lilin, duduk di dekat jendela, seraya berkata, "Allah, ini adalah saat bagi saya untuk terjun ke Islam. Yang saya butuhkan hanya sebuah tanda. Hanya tanda kecil, mungkin sedikit petir, atau mungkin rumah yang runtuh.''

Lama ia menunggu, tak ada tanda apa pun. Lilin yang ia harapkan padam sebagaimana yang sering ia lihat di film, tak terjadi. "Ayolah Allah, satu saja,'' Ruben memaksa. 

Namun, tetap tak ada apa pun yang terjadi. "Terus terang, aku sangat kecewa," kata Ruben kepada Tuhan.

Dengan perasaan kecewa, Ruben kembali membuka Alquran, kemudian membaca ayat, "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari, dan bulan untukmu. Dan, bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-(nya).''

Membacanya, bulu roma Ruben berdiri. Ia segera lari ke tempat tidur dan sembunyi di balik selimut. Berkeringat dingin, ia tak mampu melakukan apa pun saking takutnya. "Betapa arogan aku menuntut tanda, padahal matahari dan semua yang diciptakan-Nya merupakan tanda.'' 

Kapok menantang Allah, Ruben pun kembali ke masjid dan bermaksud mengucapkan syahadat. Jamaah di masjid pun menyaksikan perubahan hidup Ruben menuju kebaikan. 

Namun, Ruben mengaku kesulitan saat harus mengucapkan syahadat dengan bahasa Arab. "Bisakah aku mengucapkannya dengan bahasa Inggris?" tawarnya kepada Abu Hamzah. 

Tentu saja, permintaan Ruben tak diizinkan. Meski harus berkali-kali keseleo lidah, akhirnya Ruben mampu bersyahadat. "Pemandu bilang Asyhadu ... aku jawab, Asy… apa? Asy… apa?’ Berulang-ulang. Sangat menggelikan," kenangnya.

Usai mengucapkan syahadat, seluruh jamaah pria di masjid pun menciumnya. Saat itu, masjid dipenuhi jamaah karena bertepatan dengan hari pertama Ramadhan. Menurut Ruben, baru kali itu ia dicium begitu banyak pria. Namun, ia sangat senang. Ini peristiwa sangat berharga dan tak mungkin ia lupakan. 

Sementara itu, keluarganya merasa cemas dengan keislaman Ruben. Mereka menyangka putra mereka telah masuk ke dalam kelompok teror. "Mereka takut jika nanti aku memegang senapan AK 47 dan granat,'' kata Ruben sembari tersenyum.

Namun, hari demi hari, orang tua Ruben justru mendapati anaknya menjadi pribadi yang patuh dan baik. Mereka pun menyukai perubahan Ruben. 

Bahkan, sang ayah ikut tertarik membaca Alquran. "Kini, kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya, dan dapat dimintai tolong," tutur Ruben menirukan ucapan sang ayah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar