Bismillaahirrahmaanirrahiim
Disalin ulang dari buku 'Kutitip Surat Ini
Untukmu..' karya alUstadz Armen Halim Naro -rahimahullah-.
Terbitan Nadwah Publishing - Pekanbaru.
Kutitip surat ini, anakku!
Ananda yang kusayangi, di bumi Allah
Ta'ala..
Segala puji Ibu panjatkan ke hadirat Allah
yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu
sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para
sahabatnya. Amiin..
Wahai anakku,
Wahai anakku,
Sepanjang masa yang telah engkau lewati,
kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak!
Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas
kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas
hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku,
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu
merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang
menyampaikan tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat
tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia
adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabar gembira
tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam
kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku
kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada
kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala
merasakan tendangan kakimu atau geliat badanmu dalam perutku. Aku merasa puas
setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat
perutku, berarti semakin sengkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku,
sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan
memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak
tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga
membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian
menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar kedunia.
Engkaupun lahir.. Tangisku bercampur dengan
tangismu, air mata kebahagiaan senantiasa menetes dalam keharuan dan
kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang
semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah dengan
bertambah kuatnya rasa sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku
peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku.. Telah berlalu tahun dari
usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih
sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu,
berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku
melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta
sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu.. itulah kebahagianku!
Kemudian, berlalulah waktu, hari berganti
hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia
menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah
berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendoakan
selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi
hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar,
kumismu dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu.
Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan
hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin
dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris,
air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan
duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau
mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah
denganku.
Waktu pun berlalu seakan-akan aku
menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi
mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dalam kesedihan,
sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.
Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam
seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening dan dalam, bersama
dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau
telah melupakanku dan melupakan hakku.
Akan tetapi, semua itu tidak ada.
Penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya
keputusasaan, yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama
ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan
oleh-Nya.
Anakku.. Ibumu ini tidaklah meminta banyak,
dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu
sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai
pembantu di rumahmu, agar senantiasa dapat menatap wajahmu, agar ibu teringat
pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Yang ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah
ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat pula sekali-kali
singgah ke sana sekalipun hanya satu detik, jangan jadikan ia sebagai tempat
sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau
datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkau pun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku.
Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh
penyakit.. Berdiri seharusnya dipapah, duduk pun seharusnya dibopong, sekalipun
begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu.. Masih seperti lautan yang tidak
pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja
oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal.
Sedangkan kepada ibumu.. Mana balas budimu nak? Mana balasan baikmu?! Bukankah
air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak?
Susu yang ibu berikan engkau balas dengan tuba?! Bukankah Alla Ta'ala
berfirman;
"Bukankah balasan kebaikan kecuali
dengan kebaikan pula?" [QS. arRahman:60]
Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah
begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar
bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil
keletihanku, engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah
kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu? Pernahkah aku
berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkan
aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Lalu, jika tidak demikian, sulitkah bagimu
menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian
banyak pembantu dan budakmu. Mereka semua telah mendapatkan upahnya, lalu mana
upah yang layak untukku, wahai anakku?
Dapatkah engkau berikan sedikit
perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau
menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang
malang ini? Sedangkan Allah Ta'ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku! Aku hanya ingin melihat
wajahmu, dan aku tidak ingin menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku
mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang sering mengatakan bahwa
engkau seorang laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi. Anakku.. tidak
tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah
jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan rindu, berselimutkan
kesedihan dan berpakaian kedukaan?! Bukan karena apa-apa! Akan tetapi hanya
karena engkau telah berhasil mengeluarkan air matanya.. Hanya karena engkau
telah membalasnya dengan dengan luka di hatinya.. Hanya karena engkau telah
pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungya..
Hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahum?!
Wahai anakku, Ibumu inilah sebenarnya pintu
surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan
senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu
denganmu di sana dengan kasih sayang Allah Ta'ala, sebagaimana Rasulullah telah
sabdakan:
"Orang tua adalah pintu Surga yang di
tengah, sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!" [HR.
Ahmad]
Anakku, aku sangat mengenalmu, tahu sifat
dan akhlakmu. Semenjak engkau beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu
kepada pahala dan Surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang
keutamaan berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan
bersedekah.
Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu
hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu,
yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu
berkata: 'Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 'Wahai
Rasulullah, amal apa yang paling mulia?' Beliau berkata: 'Shalat pada
waktunya', aku berkata: 'Kemudian apa, wahai Rasulullah?' Beliau berkata:
'Berbakti kepada orang tua', aku berkata: 'Kemudian apa, wahai Rasulullah!',
Beliau menjawab, 'Jihad di jalan Allah', lalu beliau diam. Sekiranya aku
bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya," [HR. Bukhari, Muslim dan
Ahmad]
Wahai anakku! Ini aku, pahalamu, tanpa
engkau perlu bersusah payah untuk memerdekakan budak atau untuk berletih dalam
berinfak.
Pernahkah engkau mendengar cerita seorang
ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari
negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam
perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia
telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi
melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya sebuah perusahaan tambang emas
yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk
reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan.
Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah
lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang
dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan
Allah, dan murkaku adalah kemurkaanNya jua?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang
aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dalam sabdanya:
"Merugilah seseorang, merugilah
seseorang, merugilah seseorang, dikatakan (kepada Rasulullah): 'Siapa dia wahai
Rasulullah?', beliau menjawab: 'Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika
tua, dan tidak memasukkannnya ke Surga," [HR. Muslim]
Anakku.. Aku tidak angkat keluhan ini ke
langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini
telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu
kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang
dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, nak! Bagaimana aku akan
melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku.. Bagaimana ibumu ini kuat
menengadahkan tangannya ke langit sedangkau engkau adalah pelipur laraku.
Bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku
adalah kebahagiaan hidupkku?
Bangunlah, nak! Uban sudah mulai merambat
di kepalamu, akan berlalu masa sehingga engkau akan menjadi tua, dan al-jaza'
min jinsil 'amal.. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam..
Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu,
engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulismu dengan air mata itu pula
kepadamu.
Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah pada
ibumu, peganglah kakinya! Sesungguhnya Surga di kakinya. Basuhlah air matanya,
balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang
telah lapuk.
Anakku.. Setelah engkau membaca surat ini,
terserah kepadamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin
merobeknya.
Wassalam,
Ibumu.
.
Lovely work! I'm definitely going to visit the blog frequently.
BalasHapus2008 Cadillac STS AC Compressor