Kalau kita menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini.Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah(tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan,Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.
Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa,yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir,tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra’. Masyarakat Persia pundem ikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan TuhanTerang. Begitulah seterusnya.
Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab,walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, “Allah.” Tetapi dalam saat yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al-Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya.
Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakuibahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk-Nya. Kata “Allah” saja dalam Al-Quran terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nyaserta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid.
FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH
Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-‘Aql menegaskan bahwa, “Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, danInjil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan.” Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan “terasa” sehingga tidak perlu dijelaskan.
Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah(bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhankami), kami menyaksikan'” (QS Al-A’raf [7]: 172).
Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi,terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha mutlak.
Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Maha agung itu. Suara yang Anda dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, danter bawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali-karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancapdi dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwatailla billahi-‘Aliyyil-‘Azhim (Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi Maha agung). Dan dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantu iatau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) “Jangan takut, janga bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan”(QS Fushshilat [41]: 30)
“Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allah lah jiwa menjadi tenteram” (QS Al-Ra’d [13]: 28).
Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang- dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralihmenjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung.
Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapatdi pahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang ateis. Misalnya,
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'” (QS Al-Jatsiyah[45]: 24)
Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,
“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”
Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisanakal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan “nafsu kotornya” itu.
Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258), atau Fir’aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, “Siapa Tuhan semesta alam itu?” (QS Al-Syu’ara, 126]: 23).
Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir’aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran,menjelaskan sikap Fir’aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, namun sayang dia telah terlambat.
“… hingga saat Fir’aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia. ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?” (QS Yunus [10]: 90-91).
Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya.Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt.,Tuhan Yang Maha Esa.
TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI
Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.
“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku,maka sembahlah Aku” (QS Al-Anbiya’ [21]: 25).
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”
Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu’aib yang diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam suratAl-A’raf (7): 59, 65, 73, dan 85.
Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari Allah:
“Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang diwahyukan (padamu): ‘Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'” (QS Thaha [20] 13-14)
Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:
“Isa berkata (kepada Bani Israil), ‘Hai Bani Israil,sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesunguhnya siapa yang mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga,dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orang yang aniaya.” (QS Al-Maidah [5]: 72)
Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan
Allah Swt. menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat mereka. Karena itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnyasetelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang memusnahkan mereka:
“Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalahorang-orang aniaya” (QS Al-‘Ankabut [29]: 14).
Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalujauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapidi sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknyaberdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umatNuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakanoleh Hud a.s. disertai dengan peringatan tentangnikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan. Dalam rangkaianayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hudmengingatkan:
“Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allahmenjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa)sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatantubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka ingatlahnikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QSAl-A’raf [7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu’ara’ [26]:123-140)
Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas danrinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula.Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka daritanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61).
Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadianmanusia berasal dari tanah -dalam arti bahwa sperma yangdituangkan ke rahim istri berasal dari makanan yangdihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapatmencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum,pastilah lebih mampu dari mereka yang sekadar dipaparkankepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum Huddan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan NabiShaleh:
“Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh.Dia berkata, ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kalitidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datangbukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina Allah inisebagai bukti untuk kamu …'” (QS Al-A’raf [7]: 73).
Ketika tiba masa Syu’aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi,melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabisebelumnya.Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan denganbukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum syariat.
“Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara merekaSyu’aib. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah,sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnyatelah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu. Makasempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamukurangkan bagi manusia barang-barang takaran dantimbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumisesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baikbagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'” (QSAl-A’raf [7]: 85).
Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untukmembangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dankeadilan.
Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakanperiode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang MahaEsa.Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai “Bapak Para Nabi,” “BapakMonoteisme,” serta “Proklamator Keadilan Ilahi” karenaagama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agamabeliau.
Ibrahim a.s. menemukan dan membina keyakinannya melaluipencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yangdilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti bukan sajadalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam,sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An’am ayat 75, tetapijuga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untukdiketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebutAl-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimanacara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itudikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)
Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuanmanusia yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannyasejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-‘Aqqaddalam Abu Al-Anbiyya': “Penemuan yang dikaitkan dengan NabiIbrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar, danyang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan.Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api,listrik, atau rahasia-rahasia atom -betapapun besarnyapengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasaioleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan ragamanusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinyatunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam, sertamenilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannyaberlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan initidak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s.tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan denganapa yang diketahui dan tidak-diketahuinya berkaitankedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk inidengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya.”
Karena itu ketika memaparkan tauhid kepada umatnya, Nabimulia ini tidak lagi berkata sebagai Nabi-nabi sebelumnyaberkata,
“Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya,”
tetapi dinyatakannya,
“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikianitu lebih baik untukmu kalau kamu mengetahuinya” (QSAl-‘Ankabut [29]: 16)
Dan dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhanseru sekalian alam, bukan Tuhan suku, bangsa dan jenismakhluk tertentu saja.
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yangmenciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agamayang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yangmempersekutukan Tuhan” (QS Al-‘An’am [6]: 79).
“Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), ‘Sebenarnya Tuhankamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telahmenciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapatmemberikan bukti atas yang demikian itu” (QS Al-Anbiya,[21]: 56).
Terlihat juga dari Al-Quran bagaimana beliau “berdiskusi”dengan umatnya dalam rangka membuktikan kesesatan mereka,dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara lain suratAl-Anbiya, [21]: 51-67).
Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu-seperti ditulis oleh Abdul-Karim Al-Khatib dalam bukukaryanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din-sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya tidakdikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabisebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.
Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap danjelas hingga mencapai puncaknya dengan kehadiran NabiMuhammad Saw.
Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw.dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya.Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.
“Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan (segala sesuatu).Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah danTuhan-mulah yang (bersifat) Maha Pemurah, yang mengajarmanusia dengan qalam, mengajar manusia apa yang tidakdiketahui(-nya)” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama. Al-Quran menunjukkepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan)Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata “Allah.”1
Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa,yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.
Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang olehsementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:
“Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untukdikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Di sisi lain, tidak digunakannya kata “Allah” padawahyu-wahyu pertama itu, adalah dalam rangka meluruskankeyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata”Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan merekatentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan olehIslam.
Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara”Allah” dan jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allahmemiliki anak-anak wanita (QS Al-Isra’ [17]: 40), sertamanusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah,karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikatdan berhala-berhala perlu disembah sebagaiperantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar[39]: 3)
Dan kekeliruan-kekeliruan itu, maka Al-Quran melakukanpelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai gayabahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yangdidahului dengan sumpah, misalnya:
“Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya,dan demi (rombongan) yang melarang (perbuatan durhaka)dengan sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakanpelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa, Tuhanlangit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, danTuhan tempat-tempat terbitnya matahari” (QS Al-Shaffat [37]:1-5).
Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman,
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macamitu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?” (QS Yusuf[12]: 39).
Kemudian Al-Quran juga menggunakan gaya perumpamaan,seperti:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindungselain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.Sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba,kalau mereka mengetahui” (QS Al-‘Ankabut [29]: 41).
Ayat ini memberi perumpamaan mengenai orang-orang yangmeminta perlindungan kepada selain Allah, sebagai seranggayang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akanterjerat menjadi mangsa laba-laba, dan bukannya terlindungolehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya,yang satu jenis pun seperti jantan laba-laba, berusahaditerkam oleh laba-laba betina begitu mereka selesaiberhubungan seks. Kemudian telur-telur laba-laba yang barusaja menetas, saling tindih-menindih sehingga yang menjadikorban adalah yang tertindih.
Dalam kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yangbertujuan menegakkan tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahimketika memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya (QSAl-Anbiya’ [21]: 51-71)
BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN
Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaanTuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segeramelihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernahbermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehinggaTuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,
“‘Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapilihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [sepertikeadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ TatkalaTuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebutmenjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuhpingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yangpertama (dari kelompok) orang beriman'” (QS Al-A’raf [7]:143).
Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidakberkemampuan untuk melihat-Nya -paling tidak- dalamkehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-harimenunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatutanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin,hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankahkita mengakui adanya “nyawa” bukan saja tanpa melihatnyabahkan tidak mengetahui substansinya?
Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidakdapat melihat sesuatu. Pertama, karena sesuatu yang akandilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasirlebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan olehseseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yangdicari tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karenasesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapatmelihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahayamatahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat?Tetapi bila malam tiba, dengan; mudah ia dapat melihat.Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalambeberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akanmenemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanyatak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnyabernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab,”Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?””Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Alimenjawab,”Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannyayang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikatkeimanan …”
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkandaripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita?Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bintangyang besar terlihat kecil dari kejauhan.
Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika,kita dapat menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yangdikemukakan oleh para filosof tentang Wujud dan KeesaanTuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwakalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhanadan mudah ditangkap, berbeda dengan para filosof yangseringkali berbelit-belit.
Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi,dan teleologi. Bukti ontologi menggambarkan bahwa kitamempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak dapat membayangkanadanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologiberdasar pada ide “sebab dan akibat” yakni, tidak mungkintertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhirpastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragamandan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satukekuatan yang mengatur keserasian itu
Kini para filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, sepertipengalaman moral. Pengalaman moral merupakan tanda tentangadanya yang real; pengalaman ini tidak akan berarti tanpaadanya susunan moral yang objektif, dan ini pada gilirannyatidak akan berarti tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi,Tuhan Yang Mahakuasa.
Bukti lain adalah pengalaman keagamaan yang dialami olehkebanyakan manusia yang tidak diragukan kejujurannya, danyang intinya mengandung informasi yang sama.
Bukti-bukti yang dipaparkan di atas, dikemukakan olehAl-Quran dengan berbagai cara, baik tersurat maupuntersirat.
Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang buktiKeesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:
1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.
1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK
Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagaibukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segalaisinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukannazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihatbetapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yangmewujudkannya.
“Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan,dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimanaia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QSAl-Ghasyiyah [88]: l7-20).
Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud,dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya.
“Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimanaKami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidakmempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumiserta Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indahdipandang mata.” (QS Qaf [50]: 6-7).
Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya:
“(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamusama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang MahaPengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlahberulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidakseimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscayapenglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukansesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalamkeadaan payah” (QS Al-Mulk [67]: 3-4).
2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA
Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,
“Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukanTuhan), ‘Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allahkepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru(tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?’Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Diamenyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya,jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahanyang kamu sekutukan (dengan Allah)” (QS Al-An’am [6]:40-41).
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan didaratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu beradadi dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa parapenumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan merekabergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai danapabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, danmereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), makamereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatankepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) ‘Sesungguhnya jikaEngkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kamiakan termasuk orang-orang yang bersyukur'” (QS Yunus [10]:22).
Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itusungguh tepat pandangan sementara filosof yang menyatakanbahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dariberhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmupengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selamatabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yaknimemiliki naluri mengharap, cemas, dan takut, karena kepadasiapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atauharapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkanharapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
3. DALIL-DALIL LOGIKA
Bertebaran (ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliahtentang Keesaan Tuhan- Misalnya,
“Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyaiistri. Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Diamengetahui segala sesuatu” (QS Al-An’am [6]: 101)
“Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan,maka pastilah keduanya binasa” (QS Al-Anbiya’ [21]: 22)
Maksud ayat ini adalah “seandainya ada dua pencipta, makaakan kacau ciptaan, karena jika masing-masing Penciptamenghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain,maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atautidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain,maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berduabersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahanmereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidakmungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.”
Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitupengalaman para Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman NabiMusa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian jugapengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., sertanabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda,namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan.
Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran jugamengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkanhujjah mereka
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah,’Kemukakan bukti kalian!'” (QS Al-Anbiya’ [21]: 24).
“Katakanlah, ‘Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamusembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telahmereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat(dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadakukitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan danpengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalahorang-orang yang benar'” (QS Al-Ahqaf [46]: 4)
MACAM-MACAM KEESAAN
Berbicara tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkankita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnyatentang ayatnya yang pertama,
“Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa.”
Abu As-Su’ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulisdalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa untukmenunjuk kepada Allah, padahal sebelumnya tidak pernahdisebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang menunjukkepada-Nya. Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa DiaYang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata, sehinggahadir dalam benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalutertuju segala isyarat.
Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akarkata wahdat yang berarti “kesatuan,” seperti juga kata wahidyang berarti “satu.” Kata ini sekali berkedudukan sebagainama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila iaberkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untukAllah Swt. semata.
Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat AllahSwt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiriyang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama denganWahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaantersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yangtidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagidalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsisebagai sifat- tidak termasuk dalam rentetan bilangan,berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnyasehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupunpenambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
Berbicara tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasantauhid- agaknya menarik untuk dihayati bahwa kata “Ahad”terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanyasekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam suratAl-Ikhlas, “Qul Huwa Allahu Ahad.” Seakan-akan Allahbermaksud untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan sajadalam maknanya, tetapi juga dalam bilangan pengulanganlafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkankemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yangberarti “satu,” dapat berbilang unsurnya, berbeda dengankata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadarunsurnya?
Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahidseperti antara lain dalam firman-Nya:
“Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia,Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah[2]: 163)
Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat diatas, menunjuk kepada keesaan Zat-Nya disertai dengankeragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, MahaPenyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya,sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacukepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan keragamansifat-sifat tersebut.
Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhirini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nyaitu mencakup empat macam keesaan
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
1. KEESAAN ZAT-NYA
Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang haruspercaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur,atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa ituterdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsuratau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur ataubagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itumerupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuahjam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri daribeberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam,ada karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkanoleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian itu, ia tidakdapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jamtangan ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena iaterdiri dari bagian-bagian tersebut. Jika demikian, ZatTuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagianbetapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagimenjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhanmembutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:
“Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah danAllah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji”(QS Fathir [35]: 15).
Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalahsumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber darisesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia MahaMendengar lagi Maha Melihat” (QS Al-Syura [42]: 11)
Perhatikan redaksi ayat di atas, “Tidak ada sesuatupun yangserupa dengan-Nya.” Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada,apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya.Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yangseperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak adayang serupa dengan-Nya.
Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansisetiap makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian maknaKeesaan dalam Zat-Nya.
2. KEESAAN SIFAT-NYA
Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwaAllah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dankapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasakata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama.Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah,tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasihsayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dankasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamaisubstansi dan kapasitas sifat tersebut.
Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu,dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya.Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Merekamenolak adanya “sifat” bagi Allah, walaupun mereka tetapyakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, MahaPengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umumdikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentanghal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat.Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa “sifat-Nya”merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat,dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapunkecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikansegala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagisifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yangpopuler menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi MuhammadHusain Ath-Thabathaba’i, setelah menelusuri ayat-ayatAl-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allahyang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakanAl-Asma’, Al-Husna. Rincian sifat/nama-nama itudikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkanQS Al-A’raf [7]: 180.
3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang beradadi alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab danwujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata.Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidakdikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untukmemperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolakmadarat), kecuali bersumber dari Allah Swt.,
Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. berlakusewenang-wenang, atau “bekerJa” tanpa sistem yangditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan denganhukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yangditetapkan-Nya.
Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
“Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatuhanyalah berkata, ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia” (QS Ya Sin[36]: 82)
Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata”jadilah;” ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa padahakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkanapa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatuyang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses,sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun.
“Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalahseperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakankepadanya kun (jadilah), maka jadilah dia” (9S Ali ‘Imran[3]: 59).
Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa,yang dimulai dengan kehadiran malaikat kepada Maryam,kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnyalahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).
Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatuyang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses.
4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA
Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harusdiketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakanperwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.
Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah saturagamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yangditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah ataumelalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal denganistilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannyayang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukandemi karena Allah.
Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusiauntuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baiksesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupunselainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadahkepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambardalam firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, danmatiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'”(QS Al-An’am [6]: 162).
ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allahdalam jiwa manusia adalah firman-Nya,
“Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak)yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan salingberselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budakyang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya(budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah,tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]:29).
Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorangyang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya,tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan burukperangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkansatu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah ataumemerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pundemikian. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budakitu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahuibagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itudengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuhseseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan ataukontradiksi dalam kesehariannya.
Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang jugamemahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulanpada ayat di atas dengan “budak.” Ulama tersebut menulisdalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementaraorang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwamanusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali).Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yangmustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya,karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakuiadanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti diakosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaandemikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaansemacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia didunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebasmungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun,pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (idetertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu.Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenangpengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya).Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakanistilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yangdimiliki oleh pihak lain).
Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbuktikebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemahimannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yangsaling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kalidia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali keklub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budaksekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimyaia mengidap kepribadian ganda (split personality), yangmerupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentukpenyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quranmenegaskan bahwa,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram denganmengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hatimenjadi tenteram” (QS Al-Ra’d [13]: 28).
Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainyapada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan(Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilahkeduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QSAl-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainyadi dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yangmengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusakbinasa.
Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusiakepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikutdapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnyaterhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: “Siapa yangmenjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidakmengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalumencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untukmemperoleh semacam, kepastian, dalam langkah-langkahnya?”Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecualimelalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karenajika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengaturalam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yangitu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yangmengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuhkepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapatmenjamin!
Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaranyang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia,tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dankesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembanganpemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteismemurni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme(banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengankepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengantauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.
Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalampengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinyaberbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepadaAllah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadahmurni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karenaakidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembussemua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,
“Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nyadengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapayang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).
Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumberkehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yangberkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidakdapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakanmatahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnyakesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri ataudilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalahkesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuanagama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuankepribadian manusia, dan lain-lain.
Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah,dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalamigodaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiranAllah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajarsaja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Halini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yangmengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh NabiSaw. dengan bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan)menjadi waswasah (bisikan).”
Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu ZamilSammak ibn Al-Walid, “Apakah yang saya rasakan di dalamdadaku (ini)?” “Apakah itu,” tanya Ibnu Abbas. “Demi Allahsaya tidak akan mengatakannya.” Ibnu Abbas bertanya balik,”Apakah semacam syak atau keraguan?” Si penanya mengiyakan.Ibnu Abbas kemudian berkata, “Tidak seorang pun (dari kami)yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firmanAllah:
“Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkankepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membacakitab sebelum kamu” (QS Yunus [10]: 94).
Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal,Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melaluiciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikatZat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kamicondong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepadakami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah” (QS Ali ‘Imran13]: 8).[]
Catatan kaki:————-
1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-‘Alaq. Disana tidak ada kata “Allah.”. Wahyu kedua adalah beberapaayat dari surat Al-Qalam. dalam surat ini tidak disebutkata “Allah.” Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil.Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata”Allah” tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh).Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicaratentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan,sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua Hijriah.
Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayatpertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti Tuhan Yang Maha Esa adalah “Rabbika” yang disebut sebanyak dua kali. Benar bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata”Allah” sebanyak empat kali, tetapi ayat-ayatnya bukan merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.
Wahyu kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam suratini tidak ditemukan kata apa pun yang menunjukkan kepadaTuhan Yang Maha Esa.
Wahyu keenam adalah surat At-Takwir. Pada ayat terakhir(ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul’Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama,ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.
Wahyu ketujuh adalah surat “Sabbihisma.” Dalam surat ini disebutkan kata-kata “Rabbuka,” “Allah,” dan “Rabbihi”masing-masing sekali. Di sõnilah kata “Allah” disebutkanuntuk pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran.Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan-perbuatan-Nya.
Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilanAl-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha,wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-‘Adiyat, wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu kelima belas At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuhbelas Al-Ma’un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.
Dalam Wahyu kedelapan hingga kedelapan belas tersebut diatas, tidak terdapat kata “Allah.” Nanti pada wahyu kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.
Sumber
http://kristolog.com/2010/08/14/4%C2%A0of%C2%A04/
http://kristolog.com/2010/08/14/4%C2%A0of%C2%A04/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar